1001indonesia.net – Ronggeng Pasaman lahir dari tengah-tengah masyarakat multikultural di kawasan Pasaman dan Pasaman Barat. Pertunjukan kesenian tradisional ini merupakan paduan antara tradisi lisan, tari, dan musik.
Setidaknya sejak masa Kolonial, sudah banyak orang Jawa yang tinggal di Pasaman. Mereka dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk bekerja di perkebunan karet. Saat itu, Pasaman telah telah menjadi kawasan yang dihuni oleh beragam etnis, seperti Minangkabau, Jawa, dan Mandailing.
Bahkan sebelum itu, kawasan Pasaman menjadi bagian dari jalur perdagangan di pesisir barat Sumatera. Pasaman menjadi penghubung antara Aceh dan dataran tinggi Minangkabau. Ini membuat Pasaman menjadi tempat bertemunya beragam budaya.
Dari pertemuan antarbudaya tersebut lahirlah Ronggeng Pasaman yang memiliki keunikan tersendiri. Tidak seperti kesenian ronggeng di Pulau Jawa, penari yang disebut ronggeng bukanlah perempuan, melainkan seorang pria yang didandani dan berperan sebagai perempuan.
Dalam pertunjukannya, ronggeng akan ditemani oleh penampil laki-laki yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang berasal dari penonton. Satu orang menari berpasangan dengan ronggeng, sedangkan dua lainnya menari di pinggir gelanggang, menunggu giliran menari bersama ronggeng.
Baca juga: Ronggeng Gunung, Kesenian Tradisional Masyarakat Ciamis-Pangandaran
Ronggeng menganakan kebaya dan kain sarung serta selendang yang dililitkan di badan atau dikerudungkan di kepala.
Sementara penampil laki-laki dan pemain musik biasanya memakai pakaian sehari-hari dan adakalanya juga memakai selendang yang diselempangkan di badan. Namun saat ini penampil laki-laki dan pemain musik telah diberi kostum pentas seragam agar terlihat rapi.
Pertunjukan kesenian ini sangat cair. Diiringi dengan alat musik biola, gitar, rebana, serta tamburin, penari ronggeng menari secara gemulai bersama penonton secara bergiliran.
Yang menarik, ronggeng tak hanya dituntut untuk bisa menari. Dalam pertunjukan, ronggeng harus juga menguasai seni peran sekaligus memiliki keahlian mumpuni dalam berpantun. Itu sebabnya, ronggeng disebut juga sebagai pemantun.
Saat menari, ronggeng akan menyampaikan beberapa pantun untuk disahut penonton yang menemaninya menari. Ada kalanya, karena kelihaian seorang ronggeng, penonton kesulitan untuk membalas pantunnya. Jika ini terjadi, penonton tersebut bisa bertanya pada penonton lainnya.
Mirip-mirip syair dalam Rabab, pantun dalam ronggeng Pasaman bersifat dinamis. Penari ronggeng mesti bisa menggubah pantun baru secara spontan sesuai kondisi yang berkembang saat berlangsungnya pertunjukan.
Baca juga: Rabab Pariaman, Tradisi Pertunjukan Lisan dari Sumatra Barat
Keahlian menggubah isi pantun inilah yang kadang bisa membuat penonton kewalahan untuk menjawab pantun sang ronggeng. Namun, justru di sinilah letak keseruannya. Kebingungan penonton untuk menjawab pantun sang penari mengundang gelak tawa penonton lainnya.
Pantun yang dibawakan umumnya berupa pantun muda-mudi dalam bahasa Minang dan bahasa Mandailing. Pantun-pantun ini ia didendangkan dengan irama lagu, seperti lagu Karpinyo, Cerai Kasih, Buah Sempaya, Sinambang, Mainang, atau Si Kambang Baruih. Pengaruh vokal dendang ratok bakaba juga kuat dalam seni pertunjukan ini.
Ronggeng Pasaman digelar dalam beragam acara, seperti pesta pernikahan dan upacara turun mandi. Pertunjukan digelar pada malam hari. Jika kondisi memungkinkan dan para penonton antusias, pertunjukan bisa berlangsung hingga menjelang subuh.
Baca juga: Dariah, Maestro Kesenian Lengger Lanang Banyumas