1001indonesia.net – Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau akrab dipanggil Romo Mangun biasa disebut sebagai rohaniwan dan budayawan. Pastur yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan ini dikenal juga sebagai seorang arsitek.
Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 6 Mei 1929 dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdinijah. Ia merupakan anak sulung dari 12 bersaudara, 7 di antaranya perempuan.
Pada masa revolusi, Romo Mangun menjadi anggota Tentara Pelajar, Batalion X, Brigade 17. Pengalaman tersebut sangat berkesan bagi dirinya.
Dalam sebuah pidato pada awal 1950-an, Mantan Kepala Brigadenya, Mas Iman, mengatakan kepada rakyat untuk jangan mengelu-elukan para tentara. Mereka adalah pemuda yang pernah membunuh dan membakar rumah. Tangan mereka berlumuran darah. Oleh sebab itu, rakyat perlu membantunya untuk menjadi manusia normal.
Ungkapan Mayor Mas Iman itu begitu membekas dan menjadi bahan perenungan dalam dirinya. Romo Mangun kemudian berpikir bahwa rakyatlah yang justru berjasa karena mereka yang menghidupi dan menyelamatkan para tentara saat mereka bergerilya.
Untuk “membalas budi kepada rakyat jelata,” ia kemudian memutuskan menjadi seorang pastor dan mengabdikan hidupnya di bidang kemanusiaan. Ia memilih menjadi rohaniwan supaya tidak berurusan dengan soal-soal materi dan mencari kekuasaan.
Romo Mangun kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Filsafat dan Teologi Sankti Pauli, Yogyakarta, dan ditahbiskan menjadi imam Katolik pada 1959. Pada 1960, Romo Mangun mendapat tugas belajar di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman. Dia menyelesaikan pendidikan insinyur setingkat S2 tahun 1966 dengan predikat sangat baik.
Sekembalinya ke Indonesia, Romo Mangun menjadi sangat peduli pada kehidupan kaum lemah dan miskin. Kaum kecil lemah miskin tersingkir (KKLMT) merupakan pendorong dalam karya-karyanya selanjutnya.
Selain itu, ia aktif membela orang miskin dan lemah, seperti ketika ia mendampingi masyarakat di pinggiran Kali Code, Yogyakarta, yang akan digusur pada 1980-an. Dengan lantang, ia menyuarakan kepada pemerintah daerah yang hendak melakukan penggusuran bahwa masyarakat Kali Code bisa memperbaiki pemukimannya sendiri asal diberi kesempatan.
Di tempat itu, Romo Mangun tinggal dan membaur dengan anggota masyarakat Kali Code selama 6 tahun masa pendampingannya. Ia mengamati dan memahami perilaku masyarakat Kali Code, kemudian memberi teladan lewat lisan dan tindakan bagaimana merawat lingkungan. Dengan cara itu, ia mampu mengubah mentalitas masyarakat di sana untuk tidak membuang sampah sembarang tempat.
Melalui arsitektur, dia membantu masyarakat di pinggiran Kali Code. Rumah semipermanen yang tidak tertata, disulapnya jadi rumah yang terbuat dari gedek (anyaman bambu) dengan sekat bilik. Hasilnya, kawasan di pinggiran bantaran Kali Code menjadi bersih dan tertata.
Romo Mangun juga pernah membantu korban pembangunan waduk Kedung Ombo (1986-1994). Bersama sejumlah LSM, ia terlibat dalam membela petani di Kedung Ombo yang digusur karena proyek pembangunan waduk. Protes ini memicu gencarnya pemberitaan media massa dan bisa memaksa pemerintah memperbarui kebijakan ganti rugi kepada warga.
Menurut JB Banawiratma (Kompas, 24/6/2017), Romo Mangun adalah seorang sosialis Pancasila, sejalan dengan Sutan Sjahrir tokoh yang disukainya, yang mau “mengisi kemerdekaan Indonesia dengan menjadikan masyarakat sebagai manusia yang berdaulat dan bermartabat, bukan sebagai budak atau kuli di negeri sendiri.”
Bagi Romo Mangun, rakyat yang lemah perlu diberdayakan karena mereka tertindas oleh berbagai kekuasaan di dalam masyarakat. Untuk mencerdaskan rakyat yang tertindas itu, bersama aktivis pendidikan dan Kelompok Kompas Gramedia, Romo Mangun mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Yogyakarta. DED merupakan sarana pendidikan dasar untuk anak bangsa, terutama bagi masyarakat miskin.
Romo Mangun adalah seorang arsitek unggul. Karya-karyanya mendapat penghargaan internasional, antara lain dari Aga Khan Award for Architecture (1992). Karya arsitekturnya disesuaikan dengan keadaan Indonesia yang tropis dan berlatar belakang kultural.
Romo Mangun juga seorang penulis novel. Salah satu karyanya, Burung-burung Manyar, yang pertama kali diterbitkan pada 1981 memenangkan dua penghargaan, yakni South East Asia Write Award (1983) dan Ramon Magsasay Award (1996).