Putu Wijaya Meraih Penghargaan Kebudayaan dari Presiden Jokowi

1390
Presiden Joko Widodo menyalami Putu Wijaya
Presiden Joko Widodo memberikan Penghargaan Budayawan kepada Sastrawan Putu Wijaya dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat pada Minggu (9/12/2018). (Foto: twitter @jokowi)

1001indonesia.net – I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau Putu Wijaya menjadi salah satu budayawan yang mendapat penghargaan dari Presiden Joko Widodo pada acara seabad Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (9/12/2018). Ketiga budayawan lainnya adalah D. Zawawi Imron, Ismiyono, dan Hubertus Sadirin.

Jokowi berjongkok ketika memberikan penghargaan dan menyalami sastrawan yang duduk di atas kursi roda itu akibat stroke yang menyerangnya sejak akhir 2012. Momen tersebut diabadikan ke dalam foto dan diunggah di akun Twitter dan Instagram Presiden.

Seperti biasa, foto itu segera menjadi viral di kalangan warganet. Jokowi sendiri mengungkapkan bahwa aksinya itu merupakan bentuk apresiasi atas semangat yang ditunjukkan Putu Wijaya.

“Sejak remaja hingga 74 tahun kini, Putu Wijaya telah menulis 30 novel,40 naskah drama, 1.000 cerpen, esai, dan lain-lain,” tulis akun Twitter Jokowi.

“Penghargaan Kebudayaan kepada Putu Wijaya dan tiga tokoh lain, atas upaya menjaga kebudayaan Indonesia tetap mengakar dan tumbuh subur mewarnai budaya dunia,” sambungnya.

Budayawan yang aktif di dunia teater dan tulis-menulis ini lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Putu merupakan bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu.

Putu sudah menunjukkan kesukaannya pada dunia sastra sejak kecil. Karya pertamanya dipublikasikan saat masih ia masih menjadi pelajar SMP. Saat itu, cerpennya yang berjudul “Etsa” dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Waktu SMA, ia pernah bermain drama dengan naskah “Badak” karangan Anton Chekov yang disutradarai oleh Kirjomulyo.

Setelah menyelesaikan SMA di Singaraja, Putu Wijaya melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Selain belajar di UGM, ia juga belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Drama dan Film, juga satu tahun sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia.

Minatnya pada drama terus berlanjut. Saat kuliah di Yogyakarta ia menulis, memainkan, dan menyutradarai drama bersama kelompok yang didirikannya. Selain itu, ia juga bergabung selama dua tahun dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra.

Setelah pindah ke Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil yang didirikan oleh Arifin C. Noer, dan sempat sekali pentas bersama Teater Populer yang diampu oleh Teguh Karya. Lalu pada tahun 1971, ia mendirikan Teater Mandiri.

Teater Mandiri
Putu Wijaya bersama Teater Mandiri mementaskan naskah monolog berjudul “TRIK” di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Jumat (24/6/2011). (Foto: ANTARA/ Teresia May)

Dikutip dari situs Ensiklopedia Sastra Budaya, di samping aktif dalam dunia teater, Putu Wijaya juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah itu, ia bekerja sebagai redaktur majalah Tempo. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman.

Pada 1973, Putu Wijaya mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun. Di sana, ia ikut hidup dengan kelompok masyarakat komunal di Ittoen, Jepang. Ia juga menyertai kelompok itu untuk berkeliling dalam usaha memberikan pertunjukan “sandiwara rakyat keliling” yang bernama “Swaraji”.

Dia hanya sanggup memanfaatkan beasiswa itu selama tujuh bulan karena tidak kerasan dengan lingkungannya. Ia lalu kembali ke Indonesia dan aktif kembali sebagai staf redaksi majalah Tempo.

Pada 1974, Putu Wijaya mendapat kesempatan untuk mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Iowa. Pada 1975, ia mendapat kesempatan untuk bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, sebelah timur kota Paris, Prancis. Pada 1985, Putu Wijaya mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman.

Budayawan yang khas dengan topi pet putihnya ini telah mendapat beberapa penghargaan dan hadiah atas karya-karyanya. Pada 1967, naskahnya yang berjudul “Lautan Bernyanyi” mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon.

Pada 1980, ia memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand atas karyanya Telegram. Pada 2008, ia menerima Penghargaan Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki.

Baca juga: WS Rendra, Si Burung Merak

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + twenty =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.