1001indonesia.net – Masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam keberagaman. Perbedaan menjadi sesuatu yang wajar, bahkan menjadi bumbu kehidupan. Demikian juga yang terjadi di Pulau Lombok yang mayoritas penduduknya merupakan suku Sasak yang beragama Islam. Pura Lingsar menjadi bukti kerukunan dan keharmonisan masyarakat yang berbeda agama.
Pura yang berada di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, NTB ini didirikan oleh Kerajaan Karangasem dari Bali saat berkuasa di Pulau Lombok. Dibangun pada 1714 oleh Raja Anak Agung Ngurah untuk kedua etnis, Bali dan Sasak, pura ini menjadi simbol hubungan yang selaras dan harmonis antara umat Muslim dan Hindu.
Berbeda dengan pura pada umumnya yang hanya dikhususkan untuk umat Hindu, pura yang dibangun kembali pada 1878 ini juga digunakan oleh umat Muslim suku Sasak, terutama pengikut ajaran Wetu Telu, untuk berdoa maupun menggelar upacara adat.
Baca juga: Wetu Telu, Tradisi Islam Khas Masyarakat Sasak Lombok
Situs Kemaliq
Pura kuno yang terletak di dataran tinggi ini terdiri atas 3 kompleks utama, yaitu Kemaliq, Pesiraman, dan Pura Gaduh. Kemaliq berasal dari kata maliq yang dalam bahasa Sasak berarti keramat atau suci. Jauh sebelum dibangun pura, masyarakat suku Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air keramat di lokasi ini.
Kemaliq terletak di bagian bawah sebelah selatan kompleks Pura Lingsar. Bangunan ini biasanya digunakan oleh masyarakat suku Sasak untuk berdoa sebelum dan sesudah menanam padi. Masyarakat Sasak juga menggunakannya untuk menggelar berbagai upacara adat, seperti upacara khitanan dan pernikahan.
Sementara umat Hindu hanya menggunakan Kemaliq sebagai tempat berdoa. Sebenarnya, di Kemaliq, semua umat agama bisa berdoa. Banyak orang yang percaya, doa di Kemaliq akan cepat dikabulkan.
Di dalam Kemaliq, terdapat sebuah kolam ikan yang airnya bening dan tidak pernah surut. Kolam inilah yang disebut dengan Lingsar, dan oleh masyarakat sekitar dikeramatkan. Nama Lingsar diambil dari dua kata dalam bahasa Sasak yakni “ling” berarti suara dan “sar” berarti air.
Konon, ada seorang raja di Kampung Lingsar yang sedang bersemedi di tempat ini. Tiba-tiba ia mendengar bisikan suara untuk meletakkan pedangnya pada sebuah batu. Setelah perintah itu dilakukan, tiba-tiba pedang itu menghilang. Dari batu keluar air yang cukup deras hingga membentuk kolam.
Dari kolam itu muncullah sembilan ikan tune atau ikan moa yang bentuknya menyerupai belut. Ikan-ikan ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh warga di sana. Ikan moa sebesar paha orang dewasa itu diperkirakan merupakan perwujudan dari pedang sakti milik sang raja.
Sembilan ikan keramat itu sudah ada dari abad ke-17, tidak pernah berkurang. Menurut keyakinan setempat, jika Anda tidak sengaja melihat ikan moa itu, Anda akan memperoleh keberuntungan dalam waktu dekat. Masalahnya, sulit sekali melihat ikan moa itu. Bahkan orang biasanya membeli telur asin rebus dan membayar pawang untuk menarik ikan supaya bisa menampakkan diri.
Kisah lain menceritakan bahwa Kemaliq merupakan tempat Datuk Sumilir, seorang pendakwah Islam di Lombok pada sekitar abad XV, moksa setelah menancapkan tongkatnya. Titik di mana tongkat itu tertancap kemudian menyemburkan air. Oleh orang Sasak, mata air itu disebut Lingsar. Mata air ini menjadikan daerah sekitarnya yang sebelumnya gersang menjadi subur.
Peristiwa itu kemudian diperingati masyarakat Sasak dengan menggelar upacara Rarak Kembang Waru. Dinamakan demikian karena sesaat setelah moksanya Datuk Sumilir, bunga waru berguguran (rarak) di sekitar lokasi.
Setelah Lombok dikuasai Kerajaan Karangasem dari Bali, pada abad ke-18 di lokasi itu didirikan pura. Meski begitu, Situs Kemaliq tetap dipertahankan dan terbuka bagi warga Sasak. Hal tersebut turut membantu mengikat hubungan baik antara orang Sasak dan Bali di Lombok.
Selain kolam, terdapat sebuah tempat berdoa yang banyak diletakkan sesajen para umat Hindu maupun Islam yang datang berdoa. Di tempat berdoa yang terbuka itu terdapat sebuah panggung kecil yang di situ diletakkan batu-batu dari Gunung Rinjani yang begitu dihormati warga Lombok.
Kompleks Pesiraman
Kompleks Pesiraman (pemandian) terdiri atas Pesiraman Laki-laki dan Pesiraman Perempuan. Di kala Kerajaan Karangasem-Lombok masih berkuasa, keluarga kerajaan mandi di kompleks pesiraman ini sebelum melakukan persembahyangan.
Kompleks ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi 2 meter. Pintu masuk terletak di sebelah barat. Di dalam Kompleks Pesiraman ini terdapat beberapa bangunan, yaitu:
- Bangunan Betara Bagus Belian. Jumlahnya lima buah di tempat Pesiraman Laki-laki dan empat buah di tempat Pesiraman Wanita. Kedua kelompok bangunan ini letaknya agak di bawah, berbentuk empat persegi panjang dengan dinding dan lantai dari batu bata. Pada bagian selatan bangunan ini terdapat tangga naik untuk menuju halaman pura.
- Pancuran. Bangunan pancuran ada 2 buah; yang terletak di sebelah timur untuk laki-laki, dan yang di barat untuk perempuan. Masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan sembilan buah pancuran. Pancuran ini dimanfaatkan oleh setiap orang yang ingin membersihkan diri sebelum melakukan persembahyangan.
- Pancuran Loji. Pancuran ini pada tempo dulu digunakan sebagai tempat pemandian Anak Agung dan permaisurinya.
Pura Galuh
Berjalan ke bagian atas kompleks Pura Lingsar akan dijumpai sebuah taman cukup luas dengan gerbang masuk berukiran khas Bali yang sangat rumit. Taman inilah yang menjadi kompleks Pura Gaduh. Pura Gaduh biasa digunakan umat Hindu untuk berdoa sehari-hari ataupun saat perayaan hari besar seperti Galungan dan Kuningan.
Di dalam taman yang cukup luas ini terdapat tiga bangunan, yakni Pelinggih Gunung Agung di sebelah barat yang melambangkan Gunung Agung, Pura Gaduh yang melambangkan kasta tertinggi umat Hindu yakni Brahmana, dan Pelinggih Gunung Rinjani yang melambangkan Gunung Rinjani. Di Hindu, Gunung Agung dan Gunung Rinjani dikeramatkan dan disucikan.
Umat Hindu biasanya berdoa pada pagi dan sore hari. Pada saat berdoa, pengunjung biasanya tidak diperkenankan masuk ke Pura Gaduh karena dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi sembahyang.
Tradisi Perang Topat
Setiap tahun, tepatnya pada November-Desember, antara waktu setelah panen dan sebelum memasuki musim tanam baru, suku Sasak dan warga keturunan Bali menggelar ritual masing-masing secara bersamaan di pura Lingsar. Warga Sasak yang beragama Islam menggelar upacara rarak kembang waru dan warga keturunan Bali yang beragama Hindu menyelenggarakan odalan atau perayaan hari jadi pura.
Puncak perayaan dilakukan dengan tradisi pujawali perang topat atau saling melempar ketupat antarwarga. Perang topat diadakan setelah datangnya musim hujan sebelum menanam padi. Upacara ini dimaksudkan untuk mengembalikan hasil tanah (berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasilnya tersebut akan menjadi pupuk (bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Yang utama menghadiri upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada.
Perang Topat merupakan ungkapan sukacita atau rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tiap tahun sebelum Perang Topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke Gunung Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk udang, gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dilarung ke Danau Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.
Ritual yang juga mengusung semangat persahabatan ini diikuti oleh seluruh umat beragama yang berada di sekitar Pura Lingsar. Semua warga dari agama apa pun boleh ikut acara ini. Perang Topat biasanya dilakukan pada malam bulan purnama yang jatuh pada bulan Desember.
Perang Topat ini diiringi dengan sebuah tarian Baris Lingsar yang dilakukan oleh 3 batek (penari perempuan) dan 12 penari baris lingsar (penari laki-laki). Pemimpin tarian ini akan menggunakan bahasa Belanda sambil membawa senjata api peninggalan Belanda di abad ke-18, saat datang menjajah Pulau Lombok.
Usai tarian dimainkan, inti acara Perang Topat pun dimulai. Dengan ketupat di tangan yang dibagi-bagikan oleh panitia, warga sudah mulai bersiap. Saat aba-aba untuk melempar sudah dikeluarkan, ketupat-ketupat kecil mulai berterbangan ke berbagai arah menghujam tubuh banyak orang.
Aksi saling melempar ini membawa perasaan sukacita pada para pesertanya yang berasal dari beragam agama. Tidak ada amarah, yang terjadi justru membuat mereka lebih akrab.
Bersama Merawat Pura Lingsar
Pura Lingsar dibangun dengan tujuan menjadi lambang persatuan antarumat beragama. Tidak ada perbedaan bagi umat Islam maupun Hindu yang menggunakan pura ini. Siapa pun terbuka memakai tempat ini untuk beribadah. Tidak hanya dalam penggunaannya saja pura ini yang begitu terbuka, perawatannya pun dilakukan bersama-sama antara umat Islam dan Hindu.
Pura Lingsar menjadi sebuah simbol kerukunan, sebagai pengingat agar masyarakat di sekitarnya dapat hidup harmonis di dalam perbedaan. Simbol toleransi itu juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, siapa saja yang datang ke tempat suci itu tak diperkenankan membawa sesaji dari babi dan sapi. Sebab, babi haram bagi umat Islam, dan sapi dianggap suci oleh umat Hindu.