Provokator Damai, Gerakan Perdamaian dari Tanah Maluku

2612
Provokator Damai, Gerakan Perdamaian di Tanah Maluku
Monumen Gong Perdamaian Dunia di pusat Kota Ambon, Maluku. (Foto: lihat.co.id)

1001indonesia.net – Konflik yang mengatasnamakan agama di Maluku (1999-2002) justru melahirkan banyak tokoh yang menginspirasi perdamaian. Mereka tidak hanya berhasil mengakhiri konflik, tetapi juga semakin menegaskan bahwa agama yang dianut masyarakat Maluku sejatinya tidak mengajarkan kekerasan, apalagi tindakan membunuh. Pengalaman konflik yang pahit semakin meneguhkan ikatan persaudaraan mereka. Salah satu gerakan yang aktif mengupayakan perdamaian di Maluku adalah Provokator Damai.

Gerakan Provokator Damai digagas oleh Abidin Wakano dan Jack Manuputty. Sebelumnya, kedua orang itu juga terlibat aktif dalam pendirian Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM).

Abidin Wakano (Foto: malukupost.com)

Abidin Wakano adalah seorang pengajar di IAIN Ambon dan juga Universitas Kristen Indonesia Maluku. Sementara Jack Manuputty adalah seorang pendeta yang aktif menyebarkan pesan perdamaian.

Dalam melihat keragaman di Maluku, mereka berpikir perlu ada upaya inklusi sosial yang aktif dari seluruh komponen masyarakat. Menurut mereka, sejak zaman kolonial, masyarakat Maluku sudah tersegregasi menurut agama, antara negeri Islam dan negeri Kristen.

Di beberapa tempat memang terjadi percampuran, namun di banyak tempat, sebuah kampung identik dengan agama tertentu. Segregasi juga terjadi di lembaga pendidikan dan pemerintahan yang hanya diisi oleh satu agama tertentu.

Kondisi tersebut tentu turut menyuburkan benih-benih perselisihan dan stereotip
terhadap pihak lain. Kerusuhan 1999, antara lain dipicu oleh kondisi itu. Ketika konflik antara muslim dan Kristen pecah, mereka memahami bahwa perdamaian tidak bisa lahir
begitu saja secara natural.

Perlu ada upaya dari para aktor yang memiliki kepedulian untuk melakukan tindakan yang mencegah rasa permusuhan semakin melebar. Dengan pemahaman ini mereka kemudian
bergerak dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi menciptakan perdamaian.

Mereka sengaja menggunakan kata “provokator” bagi gerakan mereka untuk membalik logika yang berkembang selama ini. Seakan-akan kata itu memiliki makna negatif.

Dalam pandangan mereka kata provokator sebenarnya netral. Karenanya kata itu juga bisa dipakai untuk mengajak orang membangun situasi damai. Itulah yang mereka lakukan melalui Gerakan Provokator Damai ini.

Mereka berpendapat bahwa perdamaian harus didorong dan diprovokasi. Gerakan ini tentu
mengandaikan bahwa sebenarnya selalu ada benih perdamaian dalam setiap orang, sebagaimana juga ada benih kekerasan dalam diri setiap orang.

Hanya saja, benih apa yang dirangsang untuk berkembang bergantung pada “provokasi” apa yang terus dilakukan. Jika provokasi damai terus dilakukan, maka nilai-nilai perdamaian yang akan berkembang.

Dalam memprovokasi dan menumbuhkan benih perdamaian mereka aktif “melawan” media arus utama yang cenderung memprovokasi pada permusuhan. Bahasa-bahasa yang dipilih seharusnya tidak semakin menumbuhkan rasa permusuhan antar-kelompok.

Melalui Gerakan Provokator Damai, mereka juga aktif dalam penulisan cerita tentang
perjumpaan antar-iman, sanggar tari antar-iman, dan lain-lain. Intinya mereka ingin menebalkan kesadaran bahwa perdamaian harus diciptakan oleh mereka sendiri. Karenanya mereka berusaha aktif membangun kesadaran ini di semua sisi.

Provokator Damai, Gerakan Perdamaian di Tanah Maluku
Pendeta Jacky Manuputty (Foto: Sabar Subekti/satuharapan.com)

Pendeta Jacky Manuputty kini juga aktif membangun kembali tradisi Pela. Ia mengikatkan tali persaudaraan antarnegeri di Maluku, khususnya antara negeri muslim dan negeri Kristen. Ia berharap kerusuhan yang terjadi di penghujung abad 20 adalah yang terakhir. Ia ingin agar Maluku tetap bertahan dalam perdamaian meski mereka memiliki agama yang berbeda-beda.

Selain di Gerakan Provokator Damai, Abidin Wakano juga mengembangkan program pendidikan dan pelatihan rekonsiliasi dan perdamaian dalam Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) di IAIN.

Ia mengajak kelompok-kelompok yang pernah terlibat dalam konflik untuk merajut kembali perdamaian dengan saling live in di tempat pihak yang pernah saling berlawanan. Seorang muslim diminta untuk tinggal beberapa hari di rumah keluarga yang beragama Kristiani dan juga sebaliknya.

Meski awalnya menimbulkan kekhawatiran dari pihak yang akan live in, namun setelah tinggal beberapa hari mereka merasakan sendiri kehangatan persaudaraan itu. Proses ini berhasil mengobati luka lama yang pernah ada.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 × 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.