1001indonesia.net – Meskipun pengaruh Barat terhadap dunia kini secara umum signifikan, namun pengaruh mereka—terutama orang-orang Belanda—terhadap kehidupan sosial di Nusantara pada awalnya sangat terbatas.
Pertama, bahwa Eropa, dibandingkan dengan Turki Ottoman, bukanlah kawasan paling maju di dunia pada awal abad XV, ketika mereka mulai menjelajah kawasan Timur. Namun, keunggulan teknologi pelayaran dan kemiliteran memungkinkan mereka, mulanya
Portugal, menjelajah dan kemudian bahkan mengubah secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia (Ricklefs 2005: 65).
Kedua, dalam kasus Nusantara, Belanda mulanya tidak berminat untuk melibatkan diri dalam kegiatan sosial selain perdagangan. Pembatasan kebudayaan Belanda untuk kalangan mereka sendiri telah memperlambat akulturasi dan menghambat pula perkembangan Nusantara (Lombard 1996: 97). Gejala semacam itu mulai berubah pada awal abad XIX, dan pengaruh Barat menjadi kian kuat setelahnya.
Terdapat tiga kelompok masyarakat yang memiliki peran terbesar dalam proses meluasnya pengaruh Barat dalam kehidupan masyarakat Nusantara: komunitas Kristen, para
priyayi, serta tentara dan akademisi (Lombard 1996a). Terutama di Kepulauan Maluku dan pulau-pulau tertentu di Nusa Tenggara, Portugal mendirikan gereja-gereja pertama setelah kedatangan mereka pada abad XVI.
Lombard mencatat bahwa lama sekali sesudahnya baru di Batavia terdapat seorang pendeta. Kemudian, sejak 1753, terdapat seorang pendeta di Semarang, dan sejak 1785
seorang pendeta lainnya bertugas di Surabaya. Namun, baru pada paruh pertama abad XIX berkembang misi Protestan dan misi Katolik benar-benar aktif menjelang akhir abad tersebut.
Pada dasawarsa pertama abad XX, Kristianitas telah diterima meluas di Tana Toraja, bagian utara Tanah Batak, dan bagian tengah Kalimantan (Lombard 1996a: 98). Meskipun begitu, bukan berarti pembaratan berlangsung segera dan utuh; unsur-unsur lokal di sini bercampur dengan keyakinan Kristen dan sebagian budaya lain dari luar dalam jangka lama.
Kelompok sosial lain yang sangat terpengaruh budaya Barat adalah para priyayi. Terutama pasca-Perang Jawa (1825–1830), pemerintah kolonial Batavia mulai merangkul kalangan bangsawan. Cultuurstelsel atau tanam paksa merupakan pintu masuk akomodasi para priyayi sebagai pembantu pengelolaan pemerintahan kolonial. Hingga batas tertentu, para priyayi bahkan diperkenankan untuk ikut serta dalam kebudayaan para penakluk mereka (Lombard 1996: 103).
Penguatan administrasi pemerintahan negeri jajahan telah meningkatkan integrasi mereka pada suatu struktur hierarki birokratis sebagai pejabat pemerintah (pangreh praja). Moral para priyayi yang terbentuk dari konformisme Jawa dan disiplin “Calvinis” tetap menonjol dan berpengaruh setelah kemerdekaan Indonesia (Lombard 1996: 103).
Pasca-kemerdekaan, perombakan struktur golongan elite berlangsung seiring terbentuknya dua lembaga baru yang selanjutnya berperan penting; angkatan bersenjata dan universitas.
Pembentukan angkatan bersenjata modern banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Barat, demikian pula pengelolaan pendidikan di universitas-universitas. Kedua lembaga tersebut
merupakan wadah-wadah utama tempat proses pembaratan cenderung berpusat (Lombard 1996: 118).
*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.