Oei Tiong Ham, Konglomerasi Pertama di Asia Tenggara

2387
Oei Tiong Ham
Oei Tiong Ham (Foto: tirto.id)

1001indonesia.net – Tahukah Anda, kerajaan bisnis pertama di Asia Tenggara tumbuh di Indonesia, tepatnya di daerah Semarang pada akhir abad ke-19. Jaringan bisnis multinasional yang sayapnya membentang hingga benua Amerika dan Eropa itu dikembangkan oleh pengusaha Oei Tiong Ham, pewaris Kian Gwan Concern, yang kemudian dikenal sebagai Oei Tiong Ham Concern (OTHC).

Seperti yang dilansir Kompas, pada puncak kejayaannya sekitar dekade 1920-an, Oei Tiong Ham dijuluki sebagai Tuan 200 Juta Gulden. Sebutan itu ia terima karena menjadi pengusaha pertama yang kekayaannya menembus angka 200 juta gulden atau sekitar Rp 27 triliun dengan nilai tukar saat ini.

Pengusaha yang memiliki 8 istri dan 26 anak ini memiliki rumah yang besar. Begitu eloknya bangunan itu sehingga sering disebut dengan nama Istana Gergaji atau Istana Balekambang. Sampai saat ini, bangunan yang terletak di Jalan Kyai Saleh itu masih utuh, digunakan sebagai kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional III Jawa Tengah dan DIY.

Sebenarnya, bangunan yang masih berdiri megah itu hanya bagian dari kawasan “istana” yang luas seluruhnya sekitar 8,5 hektare. Dulu di bagian belakang rumah tersebut terdapat taman yang sangat luas yang menjadi sebuah kebun binatang pribadi Oei Tiong Ham. Taman tersebut dilengkapi bangunan-bangunan panggung terapung alias bale kambang. Kini kawasan yang sudah menjadi area permukiman padat itu dikenal sebagai kawasan Gergaji Balekambang.

Oei Tiong Ham juga memiliki lahan seluas 81 hektare di pusat Kota Semarang. Lahan tersebut berada di sekitar rumah tinggalnya. Kini lahan tersebut digunakan sebagai pusat perkantoran pemerintah di sekitar Simpang Lima Semarang.

Di puncak kejayaan bisnisnya, Oei Tiong Ham juga memiliki sejumlah bangunan kantor di Kota Lama Semarang. Kantor-kantor tersebut menjadi pusat operasi bisnis multinasionalnya yang tersebar di berbagai benua.

Rockefeller dari Asia

Begitu kayanya Oei Tiong Ham, hingga pada awal abad ke-20, ia dijuluki sebagai Rockefeller dari Asia. Rockefeller merupakan konglomerat dari Amerika Serikat, pemilik Standard Oil and Company New York (SOCONY). Surat kabar De Locomotief waktu itu bahkan menyebut dirinya sebagai orang terkaya di antara Shanghai dan Australia.

Bisnis yang diwarisi Oei Tiong Ham dari ayahnya, Oei Tjie Sien, yakni firma dagang Kian Gwan Concern, mulai berkembang tahun 1870 seiring penghapusan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa) di Hindia Belanda. Kala itu, dibukanya Terusan Suez dan penggunaan kapal uap membuat perdagangan Asia dan Eropa berkembang pesat. Kesempatan ini ditangkap oleh Kian Gwan Concern.

Oei Tiong Ham
Oei Tiong Ham

Oei Tiong Ham meneruskan kendali perusahaan di tahun 1890 ketika berusia 24 tahun. Pada 1893, perusahaan diubah menjadi N.V. Handel Maatschappij Kian Gwan. Perdagangan opium yang kala itu legal di wilayah Hindia Belanda menjadi awal kebangkitan perusahaan ini.

Perusahaan ini kemudian juga meluaskan bidang usaha ke perdagangan berbagai jenis komoditas. Usaha itu dibarengi dengan pembukaan kantor-kantor cabang berikut gudang di sejumlah negara.

Gula menjadi komoditas utama perusahaan ini, dan didukung oleh beragam hasil bumi lainnya, seperti karet, kapuk, kopi, tepung tapioka, gaplek, lada, jagung, kacang tanah, biji jarak, dan minyak serai (citronella oil).

Selain perdagangan ke berbagai negara di dunia, perusahaan ini juga mengembangkan perdagangan intrainsuler di Nusantara, antara lain ke Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Tak hanya di bidang perdagangan, Oei Tiong Ham Concern juga bergerak di bidang perkebunan tebu dan pabrik gula, pelayaran, konstruksi, lahan yasan (real estate), dan perbankan. Bank yang didirikan Oei Tiong Ham merupakan bank Tionghoa pertama di Jawa.

Raja Gula

Kunci kebesaran kerajaan bisnis Oei Tiong Ham dikokohkan dengan pembelian pabrik-pabrik gula di Jawa pada akhir abad ke-19. Dimulai dengan pembelian Pabrik Gula Pakis tahun 1894, kemudian dibeli pula Pabrik Gula Rejoagung, Tanggulangin, Ponen, Krebet. Total luas lahan lima pabrik gula tersebut mencapai 7.082 hektare. Tak heran, bila Oei Tiong Ham di kemudian hari dijuluki sebagai Raja Gula.

Gula memang menjadi kunci bisnis yang membesarkan nama Oei Tiong Ham. Bisnis gula sudah dirintis ayahnya, Oei Tjien Sien, seorang pebisnis dari Fukien atau Fujian, sebuah provinsi di pesisir selatan Tiongkok. Tiga tahun sebelum kelahiran Oei Tiong Ham, ayahnya membangun pabrik gula.

Pada 1910,  Kian Gwan membuka perusahaan cabang di London, Inggris, dengan nama Kian Gwan Western Agency Ltd. Perusahaan ini tadinya bernama FC Grein, agen Kian Gwan di Inggris sejak 1902, tetapi kemudian diambil alih oleh Oei Tiong Ham.

Setelah itu dibuka cabang di Amsterdam hingga New York, Amerika Serikat, melalui jaringan keagenan mereka. Seligman and Company adalah rekanan Kian Gwan di Kota New York yang terutama menangani perdagangan tapioka.

Dalam kurun lima tahun, 1911–1915, kantor perwakilan di London sudah menjual 725.000 ton gula dari Jawa ke British India (India), Jepang, China, Amerika Serikat, Kerajaan Inggris serta benua Eropa. Angka ekspornya mencapai 145.000 ton per tahun.

Bisnis gulanya makin besar saat terjadi booming ekonomi pasca Perang Dunia I (1914–1918), dan mencapai puncaknya pada periode 1918–1920.

Cabang di Calcutta (kini Kota Kolkatta, India), dibuka tahun 1925 dan di Kota Mumbay di tahun 1926 serta Karachi di tahun 1928. Semua terjadi setelah Oei Tiong Ham meninggal dunia pada 1924 dan kerajaan bisnis itu dilanjutkan anak-anaknya.

Karena menurunnya volume perdagangan gula dari Jawa di British India, Kian Gwan pun berganti strategi dengan berbisnis katun, wol, dan karung goni. Selanjutnya di tahun 1932, di Bangkok, Kerajaan Siam, didirikan kantor cabang untuk mengurus perdagangan beras dan karung goni

Sedangkan di China, Kian Gwan Concern membuka cabang di Shanghai, Hongkong, dan Amoy (Provinsi Fujian). Di tahun 1934, bisnis dikembangkan di China dengan pesat melalui pabrik distilasi alkohol di Distrik Pootung, Shanghai. Mereka mampu memproduksi alkohol dengan kadar 96–97 persen.

Cabang di Malaya dan Singapura juga dibuka yang antara lain memiliki bisnis pelayaran di tahun 1911 dengan nama Heap Eng Moh Steamship Company Ltd. Keluarga pihak ayah dari Perdana Menteri Pertama Singapura, Lee Kwan Yew, pernah bekerja di perusahaan tersebut. Heap Eng Moh mengoperasikan kapal yang beroperasi antara Singapura dan Jawa.

Kian Gwan juga membuka bisnis bank dan properti dengan N.V. Bank Veereniging Oei Tiong Ham di tahun 1906 dan Bouw Maatschapij Randusari N.V. yang berbisnis perumahan, perkantoran, dan pergudangan

Rekanan perbankan Kian Gwan di Hindia Belanda tidak saja dengan Javasche Bank, Nederlansch Indie Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij (kini Bank Mandiri). Kian Gwan juga sudah berhubungan tetap dengan Chartered Bank of India, Australia, and China (kini Standart Chartered Bank) dan Hongkong and Shanghai Bank Corporation (HSBC).

Oei Tiong Ham juga dikenal karena menerapkan manajemen perusahaan modern, yakni dengan mengandalkan kontrak-kontrak legal tertulis dan sistem akuntansi modern. Posisi-posisi penting di perusahaannya pun diserahkan ke para tenaga profesional yang dia pekerjakan dari luar lingkaran keluarganya, suatu hal yang berbeda dibanding kebiasaan para taipan Tionghoa pada masa itu.

Tak jarang bahkan dia mempekerjakan orang-orang Belanda untuk mengisi posisi direktur, manajer, hingga tim engineer. Suatu hal yang luar biasa di era kolonial apalagi waktu itu orang Tionghoa dikategorikan sebagai “warga kelas dua”.

Pada puncak kejayaan bisnisnya di dekade 1920-an. Namun justru pada periode tersebut, Oei Tiong Ham sudah tidak berada di Hindia Belanda lagi. Ia meninggalkan Semarang menuju ke Singapura pada 1921. Konon, seperempat ia memiliki seperempat Pulau Singapura.

Ada alasan tersendiri mengapa ia pindah ke Singapura kala itu.  Oei Tiong Ham berselisih dengan pemerintah Hindia Belanda mengenai aturan pajak ganda, serta mengenai hukum waris. Undang-undang waris yang berlaku di Hindia Belanda saat itu, mengharuskan pemberian warisan secara merata kepada semua anak.

Sementara Oei Tiong Ham memiliki pemikiran untuk mewariskan aset-aset perusahaan hanya kepada anak-anaknya—ia punya 26 anak dari 8 istri—yang dinilai mampu meneruskan usahanya. Sedang anak- anak yang lain, yang dinilai kurang mampu berbisnis, tidak diberi hak untuk mengelola perusahaan, dan hanya diberi warisan dalam bentuk uang saja.

Namun hukum Hindia Belanda saat itu tidak mengakomodasi konsep tersebut, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke Singapura. Sebab, undang-undang waris Inggris yang berlaku di Singapura, sesuai dengan rencana Oei Tiong Ham perihal pewarisan aset-aset perusahaannya.

Oei_Tiong_Ham
Oei Ing Swie sedang duduk di rumah warisan kakeknya, Oei Tiong Ham, di Jalan Kyai Saleh, Semarang, pada awal tahun 50-an. (Sumber foto: Life Magazine/Joseph Scherschel)

Oei Tiong Ham meninggal di tanggal 9 Juli tahun 1924 di Singapura. Kendali atas Oei Tiong Ham Concern kemudian dipegang oleh salah seorang putranya, Oei Tjong Hauw. Ia berhasil membawa Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, yaitu “malaise” atau Depresi Besar yang melanda dunia pada akhir dekade 1920-an sampai awal 1930-an, pendudukan Jepang (PD II) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949).

Relatif berhasilnya Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, khususnya masa Perang Kemerdekaan/Revolusi ini, antara lain dikarenakan Oei Tjong Hauw (sebagai generasi kedua) tidak hanya berkutat di dunia bisnis saja, namun juga aktif di bidang politik.

Oei Tjong Hauw tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, sebagai wakil dari golongan minoritas Tionghoa. Aktivitas Tjong Hauw di bidang politik ini membuatnya memiliki relasi yang cukup banyak dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh politik Indonesia.

Namun, baru sebentar Oei Tiong Ham Concern memasuki masa yang “tenang” setelah berakhirnya pendudukan Jepang dan Revolusi, yaitu dekade 1950-an, tiba-tiba Oei Tjong Hwa meninggal mendadak akibat serangan jantung. Meninggalnya Oei Tjong Hauw ini merupakan awal dari proses kemunduran Oei Tiong Ham Concern sebagai sebuah institusi bisnis.

Bisnis Oei Tiong Ham Concern berakhir pada 1964. Saat itu, seluruh asetnya disita oleh Pemerintah Indonesia (lewat vonis yang diputuskan oleh Pengadilan Ekonomi Semarang). Ini terjadi karena sepeninggal Oei Tjong Hauw, tidak ada lagi penerus Oei Tiong Ham Concern yang memiliki relasi dan akses bisnis yang memadai di Indonesia, terutama karena para penerus tersebut sebagian besar tidak berdomisili di Indonesia.

Dengan posisi para Direksi yang berada di luar negeri, serta dinamika politik dan ekonomi Indonesia yang makin “memanas” pada 1960-an, Oei Tiong Ham Concern menjadi rentan terhadap isu dan tuntutan “nasionalisasi”.

Situasi bertambah parah bagi Oei Tiong Ham Concern, saat salah seorang putra Oei Tiong Ham, Oei Tjong Tjay , memilih “berkoalisi” dengan kubu politik yang “salah” yaitu dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PSI kemudian dibubarkan pada tahun 1960, karena perannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Akan tetapi, alasan resmi dari pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan hukum terhadap Oei Tiong Ham Concern bukanlah politik, melainkan tuduhan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran dalam peraturan mengenai valuta asing.

Setelah proses-proses persidangan di Pengadilan Ekonomi Semarang yang berlangsung selama 3 tahun (1961–1964) akhirnya diputuskan bahwa seluruh aset Oei Tiong Ham Concern disita oleh pemerintah RI.

Pemerintah lalu membentuk PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Indonesia Nasional Rajawali Nusantara, yang diberi wewenang untuk mengelola seluruh aset Oei Tiong Ham Concern. Sekarang perusahaan ini bernama PT Rajawali Nusindo dan berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Aset-aset pribadi milik keturunan Oei Tiong Ham juga disita, termasuk rumah mewah di kawasan Gergaji (sekarang Jl. Kyai Saleh) yang dulu ditempati oleh Oei Tiong Ham dan keluarganya.

Kini, tidak banyak yang mengetahui sosok Oei Tiong Ham dan kiprah bisnisnya. Sosok yang pernah menjadi orang terkaya di Asia Tenggara dan dikenal di 4 benua ini nyaris hilang ditelan zaman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 + four =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.