1001indonesia.net – Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur dikenal sebagai cendekiawan muslim Indonesia. Ia pernah dijuluki “Natsir Muda” karena bakat intelektualitasnya yang cemerlang membuat banyak yang berharap ia akan menggantikan Mohammad Natsir.
Pemikiran Cak Nur yang sering melawan arus membuat dirinya dikenang juga sebagai tokoh yang kontroversial. Hal ini dikarenakan dalam menawarkan nilai-nilai, ia sekaligus juga hendak melawan nilai-nilai yang dianggapnya tidak baik bagi bangsanya. Sayang, ide-idenya banyak disalahpahami. Inilah yang menjadi pangkal terjadinya kontroversi terhadap pemikirannya.
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, pada 17 Maret 1939, dari keluarga pesantren. Sebenarnya, keluarganya termasuk kalangan Nahdlatul Ulama (NU), tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi.
Cak Nur mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, lalu di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di pesantren (setingkat SMP) di Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Ia kemudian pindah ke Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo yang bercorak modernis. Di tempat inilah, ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam. Ia juga menerima pelajaran bahasa Inggris.
Cak Nur kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Adab, Jurusan sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, tamat pada 1968. Sejak 1978–1984, ia melanjutkan pendidikan doktoral ke Universitas of Chicago dan lulus dengan disertasi “Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam” (Ibn Taimiya tentang Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan antara Akal dan Wahyu dalam Islam).
Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam selama dua periode (1966–1971), Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO).
Karier intelektualnya dimulai saat menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI. Pada 1968, ia menulis “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, sebuah artikel yang menjadi bahan pembincangan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Setahun kemudian, ia menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama Nilai-nilai Identitas Kader.
Karena karya-karyanya yang mencerminkan bakat intelektualitasnya yang luar biasa dan pemikirannya yang modern sekaligus sosialis-religius, Cak Nur sangat diharapkan oleh generasi Masyumi yang lebih tua sebagai pemimpin Islam di masa mendatang. Ia digadang sebagai pengganti Mohamad Natsir sehingga ia mendapat julukan “Natsir Muda”. Namun, pada 1970, para tokoh tua mulai mempertanyakan posisinya sebagai intelektual muslim saat mereka kecewa akibat makalah Cak Nur yang dianggap mempromosikan sekularisasi.
Makalah yang dimaksud adalah “Pembaharuan Pemikiran di Kalangan Islam” yang disampaikan pada acara halal bi halal yang dilaksanakan oleh gabungan HMI, PII, dan GPII. Isinya berupa kritik terhadap pemikiran Islam yang selama itu berkembang, yang menurut Cak Nur menyebabkan kemandekan di kalangan gerakan Islam. Cak Nur juga mengkritik gagasan Negara Islam. Agar terjadi penyegaran pemikiran, Cak Nur mengusulkan dilakukannya liberalisasi dan sekularisasi pemikiran dan mengacu pada The Idea of Progress. Dalam ceramah itu pula lahir slogan Cak Nur yang terkenal, “Islam Yes, Partai Islam No!”
Penggunaan istilah liberalisasi dan sekularisasi dalam ceramah Cak Nur tersebut mendapat reaksi yang keras dari beberapa kalangan, terutama dari kalangan generasi tua. Salah satunya adalah dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam bukunya Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi (1972).
Namun, peristiwa itu menjadi tonggak bagi Cak Nur dalam karier intelektualnya di kemudian hari. Makalah yang menimbulkan berbagai reaksi ini bagaikan proposal yang memberikan arah dan agenda-agenda pembaruan pemikiran Islam ke depan di Indonesia. Karena merupakan proposal, maka ada semacam keharusan bagi penulisnya untuk mengisi agenda pembaruan sesuai dengan yang ditawarkannya.
Dan, memang Cak Nur benar-benar bertanggung jawab atas apa yang sudah digagasnya. Cak Nur kemudian dikenal sebagai cendekiawan muslim yang sangat peduli pada perkembangan Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai pemikir yang gigih memperjuangkan gagasan pluralisme Islam, juga sebagai perumus “wajah Islam Indonesia” yang inklusif melalui tiga tema besar, yaitu keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.
Cak Nur menawarkan suatu bentuk sekularisasi dalam arti mengembalikan mana yang sakral, sebagai yang sakral, dan yang profan, sebagai yang profan. Jadi, “… tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis,” atau membuang peran agama dari ruang publik seperti yang banyak disangkakan.
Peran Cak Nur dalam ranah pemikiran Islam di Indonesia diakui secara luas. Pemikirannya banyak dibahas baik dalam diskusi dan seminar, maupun dalam buku dan karya ilmiah, semisal disertasi doktoral.
Cak Nur meninggal pada 29 Agustus 2005, dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata. Saat ini terdapat sebuah komunitas yang berusaha meneruskan, mengembangkan, dan menyebarkan pemikiran beliau, yaitu Nurcholish Madjid Society (NCMS). Komunitas ini secara rutin mengadakan diskusi dua bulanan, penerbitan jurnal ilmiah (Jurnal Titik-Temu), dan pelatihan mubaligh muda.