100indonesia.net – Ngaben atau upacara pembakaran/pengabuan mayat Bali terkenal sebagai upacara kematian yang terindah di dunia. Upacara yang tergolong Pitra Yadnya tersebut dilakukan sebagai upacara penyucian, yaitu untuk mengembalikan 5 unsur tubuh manusia ke asalnya. Upacara yang juga berfungsi untuk mengantarkan atman ke dunia atas ini masih berlangsung sampai sekarang.
Sejarah Ngaben
Di masa silam, saat seorang anggota keluarga kerajaan meninggal, baik seorang majikan lelaki maupun perempuan, maka seorang abdi perempuannya akan mengorbankan diri untuk menyertainya ke alam baka.
Di Indonesia, tradisi ini khas masyarakat Hindu Bali, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana dilakukan oleh beberapa orang Jawa dan orang Indonesia lainnya yang mempunyai persamaan bentuk dengan agama Hindu pada dasawarsa lalu.
Bukti dari teks Jawa dan Bali kuno memberikan kesan bahwa kurban jenazah telah diperkenalkan di istana Jawa abad ke-12 sampai 14 M sebagai bagian dari perkembangan budaya India yang masuk ke kawasan ini.
Bersamaan dengan penguasa Hindu-Jawa Majapahit memperluas daerah kekuasaannya ke Bali abad ke-14, keluarga kerajaan Bali mungkin mengambil kebiasaan ini sebagai proses penghinduan budaya Bali. Selanjutnya, budaya ini dikembangkan juga oleh kelompok-kelompok lain di bawah pengaruh penguasa kerajaan.
Sejak 1903, karena dorongan pemerintah jajahan Belanda, kebiasaan mengorbankan manusia saat upacara kematian tersebut akhirnya hilang. Namun, upacara pengabuan atau ngaben yang merupakan ritual utama dalam tradisi Hindu-Bali yang ditujukan untuk leluhur (Pitra Yadnya) tetap berlangsung hingga kini.
Orang Bali merupakan satu-satunya masyarakat di Indonesia yang melaksanakan pembakaran jenazah sebagai pelepasan orang mati, meski ada sebagian orang Bali tidak mengikuti adat-istiadat ini. Desa Trunyan, misalnya, masih mempertahankan tradisi pemakaman kuno dengan meletakkan jenazah di bawah pohon kemenyan. Penemuan arkeologi sejak abad ke-2 sampai ke-3 M menunjukkan bahwa dulu jenazah dimasukkan dalam kubur batu.
Baca juga: Waruga, Jejak Tradisi Pemakaman Minahasa di Masa Silam
Di Bali saat ini, pembakaran mayat merupakan kebiasaan yang paling umum dilakukan untuk merawat orang mati, meski mungkin didahului penguburan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sementara keluarganya mengumpulkan hal-hal yang diperlukan.
Pengabuan jenazah yang masih utuh atau belum dikuburkan sebelumnya disebut Ngaben Sawa Wedana. Biasanya upacara tidak langsung dilaksanakan setelah seseorang meninggal karena pihak keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk upacara.
Jika persiapan berlangsung agak lama maka jenazah diberi ramuan atau formalin untuk memperlambat pembusukan jenazah. Selama masa itu, jenazah diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah, dan diperlakukan layaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, menyajikan makan di samping jenazah, membawakan handuk, dan pakaian, dan lain-lain. Sebab, sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan, yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada di lingkungan keluarganya.
Baca juga: Rambu Solo, Upacara Kematian Masyarakat Toraja
Selain Ngaben Sawa Wedana, ada Ngaben Asti Wedana untuk kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.
Lalu ada Ngaben Swasta untuk upacara pengabuan yang tanpa melibatkan jenazah yang bersangkutan. Hal ini bisa disebabkan karena orang yang bersangkutan meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dan lain-lain. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Lalu ada Ngaben Ngelungah untuk anak yang belum tanggal gigi, dan Ngaben Warak Kruron untuk bayi yang keguguran.
Upacara Ngaben dikenal sebagai upacara kematian yang sangat mahal karena menggunakan bade atau wadah berbentuk sapi atau menara, dikenal sebagai sarkofagus, sebelum jenazah disucikan dengan api dan menjadi abu.
Namun, meski membutuhkan biaya yang sangat mahal, masyarakat Bali tetap melaksanakannya. Untuk menekan biaya, upacara ini bisa dilaksanakan secara massal sehingga seluruh kebutuhan upacara bisa ditanggung bersama.
Perjalanan Jiwa
Banyak naskah dan kisah mengenai tata cara mengupacarai jenazah dan nasib jiwanya di dunia atas, yakni dunia yang sangat indah, tetapi juga hukuman keras bagi jiwa yang tidak dipersiapkan. Keluarga menyadari pentingnya melakukan tugas dengan benar untuk orang yang mati sehingga dapat menolong jiwa memperoleh keadaan yang selayaknya.
Urutan upacara disusun sekitar perjalanan jiwa, yang harus dilalui dunia tengah jagad raya (dunia kehidupan manusia), menuju ke dunia atas (suarga) para dewa dan leluhur. Ada berbagai cara upacara dilaksanakan dalam masyarakat yang berbeda.
Pada malam hari sebelum jenazah diabukan, Pendeta mempersembahkan sesajen guna memperlancar perjalanan roh. Keluarga yang meninggal akan berdoa untuk keberhasilan arwahnya dapat lepas menuju dunia atas.
Hari berikutnya, nyala api suci pembakaran akan mengembalikan 5 unsur tubuh, yaitu panca maha bhuta (tanah, angin, air, api, dan udara), ke asalnya di alam, dan mempercepat perjalanan sang atman menuju surga. Seluruh proses upacara pembakaran ini disebut Samkara yang dianggap sebagai proses penyucian.
Pada sore hari, patung orang mati berisi abu tanah yang sudah dingin dibawa dalam arak-arakan untuk dilarung ke laut atau sungai untuk mempercepat proses kembali ke asalnya.
Selanjutnya, dilaksanakan proses penyucian jiwa. Upacara tersebut bisa dilaksanakan berbulan atau bertahun-tahun setelah pengabuan ketika biaya sudah tersedia. Upacara sesudah pengabuan merupakan tahap pemisahan antara orang yang mati dengan orang yang masih hidup. Segala ikatan perasaan yang tersisa dilepas agar jiwa dapat tenang di dunia atas.