Merawat Tunas Kesadaran: Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan dalam Masyarakat Majemuk Indonesia

869

1001indonesia.net – Buku ini berisi kumpulan karya peserta terpilih dan para mentor lokakarya penulisan dan desain grafis yang dilaksanakan secara daring pada Agustus hingga Oktober 2020. Lokakarya ini merupakan suatu rangkaian pelatihan di bawah payung Sekolah Harmoni Indonesia, dan terselenggara atas kerja sama Kemenko PMK, Friedrich Ebert Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, dan PSIK Indonesia.

Program kegiatan tersebut dirancang untuk menumbuhkan pemahaman silang dalam masyarakat yang beragam. Menyasar para pendidik dan pegiat sosial, pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peserta dalam menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan ataupun gambar.

Lokakarya penulisan daring terdiri atas tiga klaster, yaitu Keagamaan, Kebangsaan, dan Kegotong-royongan; Pendidikan sebagai Pemanusiaan; serta Budaya Lokal dan Mentalitas Baru Indonesia. Adapun lokakarya desain grafis terdiri atas 2 klaster, yaitu Ilustrasi dan Digital Campaign. Para peserta berlatar belakang beragam, mulai dari mahasiswa, guru, hingga pegiat budaya, dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Seperti jumlah klaster dalam lokakarya daring penulisan, buku ini pun dibagi menjadi tiga bagian. Tulisan-tulisan bagian pertama mengulas tentang bagaimana merajut kehidupan bersama di dalam negara yang beragam. Sejak awal pendirian negara Indonesia, para Bapak/Ibu Bangsa kita telah menyadari bahwa keberagaman menjadi titik krusial dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa. Keberhasilan kita dalam mengelola keberagaman akan membawa kita pada terwujudnya cita-cita negara Indonesia. Sebaliknya, kegagalan kita dalam mengelola keberagaman akan mengarahkan kita pada kehancuran sendi-sendi kehidupan bersama dan pada akhirnya akan semakin menjauhkan kita dari terwujudnya cita-cita bangsa.

Semangat gotong royong menjadi kunci dalam upaya kita mengelola keberagaman. Seperti yang diungkapkan oleh Subhan Saleh, gotong royong melampaui toleransi. Gotong royong tak sekadar menenggang perbedaan, tetapi kesediaan untuk “membangun kerja sama untuk bahu-membahu demi kebaikan tanpa memandang perbedaan, baik individu maupun kelompok.” Dengan kata lain, toleransi bersifat pasif, hanya sampai pada tumbuhnya pengakuan atas perbedaan.

Sedangkan gotong royong sifatnya aktif, yaitu kemauan untuk menggalang kerja sama dan membangun hubungan yang saling mengasihi, saling bantu-membantu, saling berbagi, dan saling menjaga. Gotong royong merupakan sikap hidup asli bangsa Indonesia. Jejaknya ada dalam berbagai tradisi dan kearifan lokal Nusantara, seperti tradisi Massorong Lopi (mendorong kapal ke laut) pada masyarakat suku Mandar dan Ma’Bule’Bola (memindahkan rumah panggung) pada masyarakat suku Bugis.

Beberapa tulisan pada bagian ini menyoroti peran pemuda sebagai agen pemersatu bangsa. Kita tahu, bahwa para pemudalah yang paling berjasa dalam membangkitkan semangat kebangsaan di negeri ini melalui berbagai organisasi dan terutama dalam peristiwa kunci Sumpah Pemuda 1928. Menghadapi penjajahan bangsa asing, pemuda mampu menyatukan diri melampaui ikatan suku, ras, dan agama, mengikrarkan diri sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia. Mengingat pentingnya peran pemuda sebagai agen pemersatu bangsa, maka penting sekali untuk mengajarkan ide-ide kebangsaan dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika sejak usia dini.

Sebagian penulis lain menekankan peran agama sebagai sarana untuk menciptakan kehidupan yang damai. Agama memainkan peran yang sangat penting dalam mewujudkan hubungan yang harmonis dalam masyarakat yang beragam. Bukankah setiap agama mengajarkan untuk saling menghormati dan menghargai sesama manusia? Hal ini berarti, semakin orang mendalami ajaran agamanya, semakin ia mampu menenggang perbedaan demi terwujudnya kehidupan yang harmonis dan damai dalam masyarakat yang beragam.

Tulisan pada bagian kedua mengulas tema pendidikan sebagai pemanusiaan. Meskipun kita sering mengartikan pendidikan sebagai belajar di sekolah, sejatinya pendidikan memiliki arti yang lebih luas. Seperti yang diungkapkan oleh Luqman Abdul Hakim, Ki Hajar Dewantoro memandang pendidikan sebagai “proses memanusiakan manusia yang dilakukan sepanjang hayat.”

Luasnya arti pendidikan tersebut tidak kemudian dimaksudkan untuk mengecilkan arti sekolah, tetapi justru menjadi sebuah kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diemban sekolah sebagai institusi pendidikan yang utama. Dalam arti, sekolah semestinya membekali peserta didik dengan kecakapan yang benar-benar dibutuhkan hidupnya. Sekolah juga semestinya menjadi ladang tempat bertumbuh-kembangnya segala potensi yang dimiliki peserta didik.

Tulisan-tulisan pada bagian ketiga mengulas kekayaan budaya dan alam Indonesia. Tentu saja budaya bukan hal yang statis, namun bergerak seiring perkembangan zaman. Kecintaan kita pada tradisi memang semestinya tidak membuat kita semata menengok ke belakang atau membuat kehidupan kita menjadi statis, menolak segala hal yang baru dan berbeda.

Tradisi bukanlah sesuatu hal yang membatasi kita, tetapi sebagai titik pijak kita untuk melangkah. Dengan cara pandang seperti ini, kita akan terus mampu terus mengaktualisasikannya kembali seturut perubahan zaman. Dengan cara demikian, tradisi akan terus hidup karena ia selalu menemukan makna dan relevansinya dalam kehidupan manusia.

Satu hal yang menarik dari karya-karya pilihan ini adalah banyak di antaranya yang merupakan respons terhadap pandemi COVID-19 yang sedang kita alami sekarang. Pandemi ini memberi banyak pelajaran bagi kita semua. Di dunia pendidikan, pandemi mengingatkan kita kembali akan peran penting orangtua dalam proses pembelajaran anak.

Sebenarnya jauh-jauh hari, Ki Hajar Dewantara telah mencetuskan konsep Tri Pusat Pendidikan, yaitu bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan: sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut memiliki peran sangat penting dalam pendidikan anak. Pendidikan akan berhasil ketika ketiga lingkungan tersebut bersinergi.

Tentu penyesuaian yang terjadi dalam proses pembelajaran anak yang terjadi di masa pandemi ini tidak mudah dan perlu proses pembelajaran, baik dari pihak guru, orangtua, maupun peserta didik.

Pandemi juga mengingatkan kita mengenai isu ketahanan pangan. Selama ini, kita mungkin terbiasa mendapatkan bahan-bahan makanan secara murah dan mudah. Namun, kondisi yang diakibatkan oleh pandemi ini kemudian banyak mengubah kehidupan kita. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai cara untuk mencegah penyebaran virus membuat kita tidak lagi bebas beraktivitas di luar rumah, juga tidak sedikit orang kehilangan pekerjaan karenanya. Dalam situasi seperti ini, tak heran jika isu kerawanan pangan mengemuka.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah dan berbagai pihak sudah menyalurkan sembako bagi yang membutuhkan. Namun, apakah itu cukup? Lagi pula kita tidak bisa semata menggantungkan hidup kita pada bantuan sembako bukan?

Sebagian orang menanggapi situasi kerawanan pangan akibat pandemi ini secara kreatif, yaitu dengan memanfaatkan pekarangan rumah sebagai tempat berkebun. Dalam situasi normal, kegiatan ini mungkin dikategorikan sebagai hobi. Namun, seperti yang diungkapkan Kurniasih, dalam situasi pandemi ini, kegiatan berkebun di pekarangan ini bisa menyelamatkan hidup kita dari kelaparan, dan bahkan menjadi sarana kita untuk berbagi.

Lagi pula, tanpa kita sadari, berkebun di pekarangan dan memetik hasilnya, mengubah kita dari yang selama ini semata menjadi konsumen menjadi produsen bahan pangan. Dengannya kita tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk mendapatkan bahan pangan.

Ketika setiap orang berdaya untuk memproduksi sumber makanannya sendiri maka tidak ada lagi isu kerawanan pangan. Untuk ini, seperti yang diungkapkan Nurwijayanti, kita bisa belajar dari masyarakat Baduy dengan leuit-nya yang selalu terisi padi sehingga dalam keadaan apa pun, mereka tidak pernah kekurangan pangan.

Seperti yang saya katakan di awal, buku ini merupakan hasil lokakarya daring penulisan dan desain grafis. Dengan demikian, ilustrasi yang ada di dalam buku ini juga buah karya peserta.

Seperti judul yang kami gunakan, Merawat Tunas Kesadaran, kami berharap bahwa pelatihan daring ini menjadi bagian dari upaya bagi para pendidik, pegiat kebudayaan, mahasiswa/wi, maupun masyarakat umum untuk menyebarkan virus-virus toleransi dan solidaritas melalui beragam media yang ada bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan harmonis.

DOWNLOAD MERAWAT TUNAS KESADARAN.PDF

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 × three =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.