Mengelola Keragaman di Tanah Papua

1844
Mengelola Keragaman di Tanah Papua
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Papua Lipiyus Binilek (tengah), tokoh masyarakat serta pimpinan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) memaparkan hasil pertemuan tertutup dengan Presiden Joko Widodo di Kantor Kepresidenan, Jakarta. (Foto: beritadaerah.co.id).

1001indonesia.net – Pembicaraan mengenai Papua kerap kali dibarengi dengan pembahasan perihal berbagai konflik yang mengiringinya. Sebelum tahun 1969, wilayah di timur Indonesia itu dikenal dengan nama New Guinea Barat (West New Guinea). Indonesia mengenal daerah itu dengan nama Irian Barat, kemudian berubah menjadi Irian Jaya sejak pembukaan pertambangan Freeport pada 1973.

Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, wilayah itu secara informal disebut Papua, dan secara formal pada 2001 menjadi Papua. Namun, para nasionalis Papua hingga kini tetap menggunakan istilah Papua Barat untuk berbagai alasan perjuangan mereka.

Perihal konflik yang selalu disandingkan ketika membincangkan Papua biasanya seputar soal-soal ekonomi dan politik. Dua sektor itulah yang menjadi alasan para nasionalis berjuang untuk memperbaiki nasib mereka.

Selain itu, ada juga konflik antarsuku dan kekerasan yang mengatasnamakan alasan-alasan keagamaan. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cenderawasih sebagai wilayah yang “murung” dan “menyeramkan”.

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat berbagai pengalaman dan cerita kedamaian di Tanah Papua. Pengalaman hidup bersama warga Kampung Wonorejo, Papua, merupakan salah satu contoh yang dapat diungkap untuk menunjukkan bagaimana Papua piawai mengelola keragaman di wilayahnya. Fakta ini terungkap dalam penelitian Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Yogyakarta di wilayah tersebut.

Kampung Wonorejo adalah sebuah desa yang terletak di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Warga desa ini berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang datang sebagai transmigran yang hidup dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda. Situasi itulah yang menjadi dasar masyarakat Wonorejo membangun kehidupan yang toleran dengan orang-orang di sekitar mereka.

Masyarakat Wonorejo dengan latar belakang kultur dan keyakinan berbeda, mempunyai nilai atau memori bersama yang menjadi semangat dan kekuatan untuk memelihara situasi damai. Karena itu, interaksi masyarakatnya berlangsung dalam upaya untuk mencapai keharmonisan hidup bersama.

Interaksi antaretnis yang terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Misalnya, interaksi para perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.

Masyarakat Wonorejo memberi contoh pentingnya ruang-ruang perjumpaan yang bisa menjembatani relasi lintas-etnik dan antaragama dalam kehidupan sehari-hari agar mewujud dalam bentuk kedamaian. Praktik pengelolaan keragaman dilakukan melalui adaptasi dan transformasi kegiatan kesenian yang tidak menjadi tradisi eksklusif salah satu kelompok etnis, tapi melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat.

Cairnya relasi antaretnis nampak dalam kegiatan kesenian Kuda Lumping dari Jawa Timur dan Bakar Batu dari Papua yang dirayakan dengan melibatkan semua warga. Praktik lainnya seperti semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh warga, terlepas dari latar belakang dan identitas keagamaan yang dianut.

Relasi serupa juga bisa dilihat dalam acara-acara keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal yang dirayakan secara bersama-sama disusul dengan tradisi saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan selamat.

Di sini, para tokoh agama, pemangku adat dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan keragaman dan menjaga perdamaian. Mereka berperan menebar nilai-nilai keragaman, toleransi kepada masing-masing umat, menghindari materi penyiaran agama yang menyinggung, dan memperkokoh jalinan antarumat beragama.

Meski terbilang berhasil dan menjadi contoh pengelolaan keragaman di Tanah Papua, ketegangan dan konflik tidak serta merta hilang dari wilayah ini. Ketegangan dan konflik biasanya dipicu oleh kecemburuan sosial yang tersimpan dalam relasi antarwarga lantaran para pendatang menguasai sebagian besar sektor-sektor perdagangan kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Ketika persoalan tersebut mencuat, para pemuka agama, pemangku adat dan aparat pemerintah segera meredam agar konflik tidak meluas.

Seperti konflik yang terjadi di Tolikara pada 2015 silam. Sebelum insiden pembakaran masjid di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, berdasarkan penelitian Kementerian Agama Republik Indonesia di lapangan, masyarakat setempat memiliki tradisi saling mengunjungi pada hari besar keagamaan khususnya di hari Idul Fitri dan Natal.

Namun, eksklusivisme yang ditunjukkan jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berakibat pada larangan umat Islam menyelenggarakan salat Idul Fitri di lapangan Makoramil Karubaga menggunakan pengeras suara. Pelaksanaan salat di lapangan karena umat Islam di Tolikara oleh GIDI dilarang membangun masjid, hanya diperbolehkan membangun musala tanpa pengeras suara. Karena umat Islam tetap melaksanakan salat, perpecahan pun terjadi.

Selain persoalan eksklusivisme dalam beragama, kesenjangan ekonomi antara masyarakat asli dengan pendatang juga menjadi pemicu mencuatnya konflik. Berdasarkan demografi wilayah, umat Islam di Tolikara umumnya berasal dari Sulawesi Selatan, terutama dari Kabupaten Bone. Mereka berprofesi sebagai pedagang.

Dari temuan penelitian, sebagian besar (sekitar 80%) pemilik kios adalah umat Islam seperti penjual sembako dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan profesi tersebut, masyarakat pendatang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi warga. Hal ini jika disusupi motif-motif politik akan cepat berubah menjadi konflik.

Menengok pada pengalaman di daerah lain, mestinya aparat pemerintah bersama dengan warga masyarakat bekerja sama membangun wilayah dan memberdayakan ekonomi warga agar tidak mudah tersulut masalah-masalah identitas. Sebab problem kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dapat menjadi pemicu berbagai konflik sosial dan ketidakharmonisan di masyarakat.

Dalam relasi dan perjumpaan sehari-hari, warga desa Wonorejo menemukan pola-pola sederhana dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dan mencari titik temu seluruh warga untuk mendiskusikan banyak hal. Seperti membentuk Balai Kampung yang berfungsi sebagai ruang dialog warga dan mempererat komunikasi antarwarga.

Menurut pengalaman warga, cara ini berhasil mengurangi ketegangan yang belakangan diketahui dilatari oleh motif-motif politis. Dengan begitu, setiap warga dapat terlibat dan melihat langsung proses tersebut sehingga menjadi pembelajaran bagi mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan konflik.

Begitulah cara warga mengelola keragaman dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan sehingga harmoni dan kerukunan tetap berlangsung di wilayah mereka dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + 20 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.