1001indonesia.net – Sejarah kebudayaan bahari Nusantara membentang hingga ribuan tahun. Selama itu pula, orang Indonesia, khususnya di bagian barat, ikut serta dalam jaringan perdagangan maritim Asia. Para pelaut Nusantara zaman dahulu dikenal memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam bidang navigasi, bahkan dianggap merupakan perintis bidang ini.
Tidak hanya berpengalaman dalam hal berlayar, masyarakat Nusantara juga mampu menciptakan teknologi kelautan yang mumpuni, salah satunya dalam bidang pembuatan kapal. Sampai tahun 1500-an, kapal-kapal jung Jawa lah yang mendominasi perairan di kawasan Asia Tenggara.
Perdagangan Maritim
Hampir 2.000 tahun lamanya, Nusantara terlibat dalam perdagangan maritim dunia dan mengembangkan budaya kelautan. Kondisi geografis kepulauan Nusantara sendiri memungkinkan untuk berkembangnya budaya bahari. Nusantara terdiri atas ribuan pulau yang dilingkupi laut dan selat, menjadikan wilayah pantai di Nusantara sangat panjang.
Mata pencaharian masyarakatnya pun sebagian besar sangat bergantung pada laut. Ikan sudah lama dikenal sebagai sumber makanan penting. Hal ini membuat keberadaan angkutan laut sebagai sarana transportasi antarpulau dan sebagai alat untuk mencari ikan menjadi sangat penting.
Lokasi Kepulauan Nusantara pun strategis. Terletak di persilangan jalur pelayaran dunia, menjadikan Nusantara sebagai pusat perdagangan maritim dunia. Nusantara juga beruntung dengan adanya pergantian angin muson barat dan muson timur setiap setengah tahun. Para pelaut dapat berlayar ke Tiongkok, India, atau Maluku pada salah satu angin musim dan kembali pada musim berikutnya.
Pada abad-abad awal Masehi, perdagangan maritim yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara sudah meluas hingga perdagangan jarak jauh yang membawa kapal dan pedagang ke pelabuhan-pelabuhan Tiongkok Selatan di timur serta Teluk Parsi, Laut Merah, dan Madagaskar di Samudra Hindia. Sampai saat ini, masih bisa kita temui jejak peradaban Nusantara di Madagaskar, sebuah pulau yang terletak di sebelah timur benua Afrika.
Baca juga: Jejak Budaya Nusantara di Pulau Madagaskar, Afrika
Lonjakan perdagangan maritim terjadi pada abad ke-15, sebagai tanda dimulainya “abad perniagaan”. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya permintaan rempah dari Eropa. Rempah-rempah inilah yang menarik orang Eropa untuk datang ke Nusantara untuk mencari sumber rempah, terutama karena beberapa rempah penting—seperti cengkih, pala, dan bunga pala—hanya ada di Kepulauan Maluku.
Saat itu, pelabuhan-pelabuhan seperti Pasai dan kemudian Aceh di Sumatra bagian utara; Malaka, Pahang, dan Patani di Semenanjung Malaya; serta Banten, Demak, dan Gresik di Jawa menjadi pusat perdagangan. Dari semua pelabuhan tersebut, Malaka sebagai pusat pasar rempah-rempah Asia Tenggara merupakan pelabuhan yang paling ramai dikunjungi pedagang.
Perdagangan yang mengalir begitu deras sejak abad ke-15 hingga abad ke-17 membawa kemakmuran, budaya baru, juga malapetaka ke Nusantara. Sebuah perubahan yang dengan apik dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Arus Balik, yang mengubah hampir seluruh wajah Nusantara.
Kapal Jung Jawa
Bangsa Indonesia sudah memiliki teknologi pembuatan kapal yang maju sejak zaman dahulu. Gambar relief kapal layar bercadik pada candi Borobudur menunjukkan kemampuan bahari masyarakat pada abad ke-9 M. Kapal bercadik yang tergambar dalam candi Borobudur ini selama beratus-ratus tahun memainkan peran penting dalam pelayaran Nusantara. Selain kapal bercadik, Nusantara juga memiliki kapal-kapal tidak bercadik dengan ukuran lebih besar, yang disebut sebagai kapal jung.
Kapal jung terutama digunakan untuk pelayaran jarak jauh. Pembuatan kapal-kapal berukuran sangat besar ini dilakukan di pantai utara Jawa dan pantai selatan Kalimantan. Kapal-kapal ini dibuat dengan jalinan papan kayu jati atau kayu besi. Bahan kayu ini selalu siap dalam jumlah besar untuk membuat kapal-kapal berukuran raksasa ini.
Catatan dari sumber-sumber tertulis maupun bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa sampai abad ke-15, kapal-kapal jung Jawa yang paling berperan dalam perdagangan Nusantara, terutama untuk jarak jauh. Kapal-kapal ini berlayar mengarungi samudra, bahkan mencapai hingga Tanjung Harapan di benua Afrika bagian selatan.
Ketika para pelaut Portugis datang ke perairan Indonesia pada akhir abad ke-15, mereka terkejut menjumpai kapal-kapal berukuran jauh lebih besar dibanding kapal mereka.
Kapal jung Melayu dan Jawa sering mengangkut dagangan seberat 350 hingga 500 ton dengan beberapa ratus orang, termasuk awak kapal dan sejumlah pedagang kecil. Barang dagangan diletakkan di bawah dek dalam petak-petak khusus yang disekat oleh dinding anyaman bambu.
Konstruksi kapal jung Jawa mengikuti tradisi perahu sebelumnya, dibuat dengan sistem dasar jalinan papan. Kapal ini dibuat tanpa menggunakan paku besi. Papan-papan disatukan dengan pasak kayu. Kerangka kapal dipasak agar membentuk rangka kuat. Kapal mempunyai beberapa buah tiang, menggunakan layar segi empat yang terbuat dari serat tumbuhan, dengan ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip.
Satu sifat khas lain warisan perahu sebelumnya adalah pelapisan lambung kapal dengan papan. Saat satu lapis papan mulai rapuh, bagian yang rapuh tersebut akan dilapis oleh jalinan satu atau dua lapisan papan baru.
Kapal jung memakai dua kemudi samping menyerupai dayung, seperti kapal pinisi Bugis yang benar-benar keturunan kapal jung meski ukurannya lebih kecil dan masih dibuat hingga tahun 1970-an di Sulawesi.
Namun, sejak Nusantara tidak lagi mendominasi dalam perdagangan jarak jauh, kapal-kapal jung Jawa tidak lagi diproduksi. Orang Gujarat di Aceh dan orang Tionghoa di Banten yang kemudian menggantikan peranan pedagang Nusantara dalam perdagangan jarak jauh. Kapal-kapal merekalah yang mengambil alih barang dagangan yang sebelumnya menjadi bagian kapal-kapal jung Jawa.
Hilangnya jung Jawa merupakan buntut dari kebijakan raja-raja Jawa setelah kekalahan perang terhadap Portugis dalam penyerbuan mereka ke selat Malaka. Penyebab lainnya adalah ekspansi militer dan perniagaan yang dilakukan Belanda. Jung yang berukuran sangat besar ini sangat berguna saat masa damai, tapi gerakannya lamban dan tidak dapat bermanuver. Kapal ini tidak mampu menghindar dari serangan meriam oleh kapal-kapal Eropa. Kerajaan-kerajaan Jawa yang kalah di lautan kemudian memusatkan diri pada daratan. Sejak abad ke-17, tidak ada lagi pelaut-pelaut Jawa di pantai utara yang memiliki kapal besar ini.
Tradisi Baru Pembuatan Kapal
Tradisi baru dalam pembuatan kapal kemudian muncul. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh dari Tiongkok. Teknik pembuatan kapal di Asia Tenggara kemudian dipadukan dengan teknik dari Tiongkok, seperti paku besi dan kemudi aksis/tunggal.
Hilangnya kapal jung yang berukuran besar dari perairan Nusantara tidak berarti tidak ada lagi armada penting di Nusantara. Dominasi kapal jung besar kemudian digantikan oleh jung kecil atau perahu lambung bulat dan beberapa perahu panjang serbaguna (balang, lancang, kelulus, penjajap, kora-kora, dan lain-lain) yang dapat dipakai untuk perang maupun saat damai. Kapal lincah ini dikemudikan dengan bantuan layar atau dayung, memenuhi jaringan interinsuler, dan berguna untuk mengumpulkan kargo untuk ditimbun di pelabuhan utama.
Kapal-kapal panjang berukuran kecil ini lebih cocok untuk kawasan kepulauan Nusantara dengan selat-selat sempit, pulau-pulau yang mengelompok, angin laut yang sering berubah, dan arus laut kuat. Kemampuannya untuk menyesuaikan dengan berbagai kondisi alam Nusantara sekaligus sifatnya yang serbaguna kemudian menjadi ciri penting dari kapal-kapal Nusantara.
Sumber:
- Anthony Reid, Indonesian Heritage III: Sejarah Modern Awal, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
- Didik Pradjoko dan Friska Indah Kartika, Pelayaran dan Perdagangan Kawasan laut Sawu: Abad Ke-18-Awal Abad Ke-20, Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2014.