1001indonesia.net – Indonesia kembali kehilangan salah satu maestro keseniannya. Jemek Supardi yang setia menggeluti dunia pantomim berpulang pada usia 69 tahun di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (16/7/2022) petang.
Jemek dikenal sebagai maestro pantomim Indonesia. Kesenian pantomim Indonesia lekat dengan sosoknya. Karena kesetiaan dan totalitasnya menggeluti cabang kesenian ini selama berpuluh-puluh tahun, Jemek bahkan dijuluki sebagai Bapak Pantomim Indonesia.
“Awalnya, beliau itu pemain teater. Tapi, beliau punya kelemahan untuk menghafal naskah. Ternyata, kelemahan itu menjadi berkah karena beliau mengetahui kekuatannya pada gerak dan mimik. Dari situlah pantomim didalaminya,” demikian kata Bambang Paningron, penggiat seni asal Yogyakarta, seperti yang dilansir Kompas, Minggu (17/7/2022).
Pria kelahiran Sleman, 14 Maret 1953, ini mulai mengenal dunia teater modern pada 1972. Merit Hendra, pemain Teater Alam, adalah sosok yang menarik Jemek ke dalam dunia teater. Tokoh lainnya ialah Adi Kurdi dan Tertib Suratmo yang kala itu aktif di Bengkel Teater yang dikelola penyair WS Rendra di Yogyakarta.
Nino Citra Anugrahanto (Kompas, 17/7/2022) menulis, Jemek bergabung dengan Teater Alam pada 1973 dan Teater Dinasty pada 1975. Karena kelemahannya dalam menghafal naskah, ia sering kali hanya mendapat peran figuran. Namun, tokoh Teater Dinasty, Azwar Anas, menyadari bahwa Jemek unggul dalam melakukan gerakan tanpa kata.
Mendengar penilaian Azwar Anas, Jemek pun mempelajari tingkah laku orang sehari-hari. Ia kemudian mendalami pantomim secara autodidak sewaktu bergabung dengan Teater Boneka pimpinan Juli Tymor.
Untuk mengenal lebih dalam kesenian ini, ia rajin menonton pentas pantomim, termasuk seniman pantomim Prancis Marcel Marceau yang pentas di Yogyakarta. Ia juga banyak membaca buku-buku tentang pantomim.
Jemek dikenal sebagai seniman Indonesia yang sangat total menggeluti kesenian pantomim. Baik make up yang digunakan maupun aksi panggungnya selalu totalitas. Ia juga penuh dengan ide kreatif. Salah satu hal paling unik darinya adalah ia kerap tampil di tempat-tempat yang tak lazim. Bagi Jemek, panggung pertunjukannya bisa di mana saja.
Jemek pernah tampil di pasar, tengah jalan, kereta api, rumah sakit jiwa, bahkan di pemakaman. Misalnya, pada 1998, dalam pertunjukannya bertajuk “Bedah Bumi”, Jemek pentas dengan membawa 11 peti mati yang diarak di jalanan hingga berlanjut ke pemakaman.
Di pemakaman, Jemek telah mengupah orang-orang untuk menyiapkan doa kematian. Digelar pula kain hitam dengan pelepah pisang dan taburan bunga. Orang-orang sekitar sampai mengira sedang ada prosesi kematian sungguhan (Kompas, 17/7/2022).
Jemek juga sempat membuat heboh dengan menggelar pantomim “Pak Jemek Pamit Pensiun” di sepanjang Malioboro. Pertunjukan yang membuat jalan macet total itu dilakukannya untuk merespons tidak diikutsertakannya pantomim dalam agenda Festival Kesenian Yogyakarta pada 1997.
Selama karier keseniannya, Jemek telah mementaskan pantomim di banyak acara dengan beragam tema. Juga banyak karya telah dilahirkannya. Karya seninya pun sering dibawakan oleh kelompok teater lain, baik secara tunggal maupun kolektif.
Beberapa pementasannya antara lain Sketsa-sketsa Kecil (1979), Jemek dan Laboratorium (1984), Arwah Pak Wongso (1984), Adam dan Hawa (1986), Menanti di Stasiun (1992), Sekata Katkus du Fulus (1992), Kesaksian Udin (1997), Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badutbadut Republik atau Badut-badut Politik (1998), 1000 Cermin Pak Jemek (2001), Air Mata Sang Budha (2007), Jemek Ngudarasa (2013), dan Pedhot (2019).
Baca juga: Selamat Jalan Bondan Nusantara