1001indonesia.net – Selain Dayak Bahau dan Modang, masyarakat Dayak Kenyah juga memiliki sejenis tari Hudoq, yang disebut Hudoq Kita’. Kedua tari ini sama-sama dilakukan dalam kaitan dengan perputaran musim tanam, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat setempat.
Namun, keduanya memiliki perbedaan dalam kostum yang dikenakan. Busana Hudoq Kita’ terdiri atas baju lengan panjang, sarung, serta topeng kayu yang melambangkan manusia.
Topeng itu begitu besar, dan dihiasi oleh lengkungan-lengkungan yang menjorok dari telinga. Ada dua jenis topeng, yaitu topeng kayu dan topeng manik-manik. Dua topeng kayu melambangkan lelaki dan perempuan, tetapi hanya dikenakan oleh laki-laki, dan hanya merekalah yang kesurupan.
Pasangan yang memakai topeng kayu tersebut yang memimpin tarian dengan tokoh laki-laki selalu di depan. Para penari yang berbaris di belakang mereka memakai topeng seperti kotak yang pas untuk kepala. Topeng tersebut dihiasi manik-manik. Penari-penari ini melambangkan dewi padi.
Hudoq Kita’ berkaitan dengan rangkaian upacara adat Uman Undat sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan masyarakat Dayak Kenyah atas hasil panen padi yang diperoleh. Penghormatan diberikan kepada dewi padi yang telah memberikan hasil panen yang baik, juga kepada Po’ Matau sebagai pencipta alam semesta.
Ritual juga diadakan sebagai doa agar musim tanam berikutnya bebas dari gangguan hama perusak tanaman, diberikan kesuburan dan hasil panen yang melimpah, serta kesejahteraan bagi warga desa.
Pelaksanaan Ritual
Ritual Hudoq Kita’ dapat diadakan di halaman rumah panjang atau di usei (beranda). Penonton membentuk pembatas di halaman atau di beranda.
Saat acara dimulai, pawang memasuki tempat yang disiapkan untuk merapal mantra pemanggil roh. Persembahan ayam dan panganan istimewa telah disiapkan sebelumnya.
Sampe’, alat musik berdawai tiga khas Dayak dimainkan. Gong-gong ditabuh. Kedua alat musik tersebut menghasilkan alunan suara yang membawa para penari masuk ke dalam arena. Penari bertopeng kayu datang, setelah sampai ke tengah, pawang memanggil para penari manik-manik.
Para penari berbaris. Pawang merapal mantra sambil menyentuh para penari satu demi satu, dan mereka mulai bergerak mengikuti irama sampe’ dan gong. Para penari meneruskan gerakan berirama mereka sementara pawang mengucapkan pesan untuk roh-roh.
Seiring semakin dalam mereka kerasukan, pasangan penari bertopeng kayu menjauh dari yang lain. Gerakan mereka menjadi lebih tegas dan merangsang, tangan memukul paha dan hentakan kaki semakin kuat.
Saat puncak, musik dan tarian berhenti. Para penari bertopeng manik-manik melingkari penari bertopeng kayu dan mereka diperintah oleh pawang untuk menyampaikan pesan kepada para roh yang merasuki penari bertopeng kayu. Setelah itu, musik kembali mengalun dan penari yang kerasukan kembali memimpin upacara tersebut.
Mereka mengitari arena beberapa kali, kemudian berbaris di tengah, dan sambil terus menari, mereka duduk. Pawang mendekat, menyadarkan dua penari yang kerasukan dengan cara menyentuhnya, serta membawa hadirin keluar arena satu demi satu. Saat arena akhirnya kosong, musik berhenti. Upacara ditutup dengan makan bersama.
*) Tulisan bersumber pada Deddy Luthan, “Hudoq”, dalam Edi Sedyawati, Indonesia Heritage: Seni Pertunjukan, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002, dilengkapi dari sumber-sumber lain.