1001indonesia.net – Suatu kali, sambil berkelakar, Gus Dur pernah berucap, “Hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Gurauan Gus Dur ini bukan tanpa alasan. Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai penegak hukum yang jujur dan berani dalam menegakkan keadilan.
Hoegeng Iman Santoso dilahirkan di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Ia berasal dari keluarga sederhana, meski ayahnya tergolong priayi karena menjadi ambtenaar di pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya, nama pemberiannya ayahnya adalah Iman Santoso. Waktu kecil ia sering dipanggil Bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi Bugeng, dan akhirnya menjadi Hugeng. Jadilah “Hougeng” nama depannya.
Hoegeng menempuh pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Hukum, Recht Hoge School (RHS), di Batavia. Sayang Jepang keburu masuk. Pemerintah pendudukan Jepang membekukan sekolahnya sebelum ia dapat menamatkan pendidikannya.
Ia kemudian berniat bekerja di Radio Hoso Kyoku, eks-radio pemerintah Hindia Belanda yang diambil alih Jepang. Sambil menunggu panggilan, ia mengikuti Kursus Kepolisian di Pekalongan. Setelah lulus, ia ditempatkan di Kantor Jawatan Kepolisian Keresidenan Pekalongan. Ia menjalani pekerjaan ini dengan setengah hati. Ketatnya disiplin dan kekecewaan karena pangkat yang diterimanya sebagai jebolan RHS tergolong rendah menjadi penyebabnya.
Namun waktu bicara lain. Ia ditakdirkan untuk berjuang di jalur kepolisian. Suatu kali, terbuka lowongan mengikuti pendidikan lanjutan untuk menjadi kader tinggi kepolisian di SPN Sukabumi. Ia didaftarkan oleh Wakil Kepala Kepolisian Keresidenan Pekalongan, Komisaris Polisi Kelas 1 Soemarto, untuk mengikuti pendidikan tersebut.
Peristiwa ini membawanya untuk lebih dalam mempelajari ilmu kepolisian. Pada 1950, Hoegeng mengikuti pelatihan di Amerika Serikat. Pada 1952, ia berhasil menyelesaikan pendidikan kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan kepolisian, ia diangkat sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DKPN) di Kepolisian Jawa Timur.
Hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Reputasinya sebagai penegak hukum mulai terlihat jelas saat menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditreskrim) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatra Utara sejak 1956. Saat Hoegeng bersama keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan, ia disambut oleh seorang pengusaha yang mengaku sebagai Ketua “Panitia Selamat Datang” yang dibentuk oleh sejumlah pengusaha Medan. Pengusaha tersebut mengaku bahwa panitia sudah menyediakan rumah dan kendaraan, juga hotel sekiranya Hoegeng menginginkan untuk menginap. Dengan halus, Hoegeng menolak tawaran tersebut.
Setibanya di rumah dinas di Jalan Rivai, Medan, Hoegeng juga mendapat kiriman berbagai macam barang perabotan rumah tangga dari pengusaha Medan. Ia menolak pemberian tersebut, dan meminta pengusaha tersebut untuk mengambilnya. Namun, pengusaha yang mengirim barang-barang tersebut bersikeras tidak mau mengambilnya. Karena tidak diambil juga, Hoegeng pun mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut dari rumah, dan ia letakkan di depan rumah. Akhirnya, akibat panasnya sinar matahari dan hujan, barang-barang tersebut rusak. Peristiwa ini kemudian menjadi perbincangan di kota Medan: ada polisi yang tak bisa disuap.
Medan memang bukan tempat tugas yang mudah bagi Hoegeng. Banyak godaan dan tantangan yang menguji ketabahan dan keberaniannya di kota ini. Ia bahkan pernah dijadikan sasaran penembak jitu ketika ia bertugas di kawasan pinggiran hutan kota Medan. Beruntung, tembakan luput sehingga ia selamat dari maut. Namun, si penembak jitu tidak berhasil ditangkap.
Setelah tugasnya di Medan sukses, ia ditarik kembali ke Jakarta. Ia kemudian ditugaskan menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Selepas dari tugas ini, ia diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam kabinet “seratus menteri” pada Juni 1965. Pada 1966, ia kembali bertugas di kepolisian sebagai Deputi Operasi.
Pada 5 Mei 1968, Hoegeng Iman Santoso diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara—berubah menjadi Kapolri pada 1969. Saat itu, pribadinya yang lurus dan sederhana tampak nyata. Hoegeng menolak tinggal di rumah dinas Kapolri di Jalan Pattimura. Ia memilih tinggal di rumah sewaan di daerah Menteng. Ia pun menolak berbagai pemberian yang terkait dengan jabatan.
Hoegeng adalah seorang pekerja keras dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Selama menjabat sebagai Kapolri, Hogeng tak merasa ragu ataupun takut untuk menegakkan keadilan, bahkan jika kasusnya menyangkut keluarga ataupun kroni pejabat tinggi negara, seperti kasus Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahjadi, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad. Karena sikapnya yang berani dan ulet dalam menuntaskan kasus besar ini ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto pada 1971 meski masa jabatannya belum berakhir (Aris Santoso dkk, 2009).
Selain tegas dalam menegakkan aturan, ia juga tegas dalam mencegah terjadinya pelanggaran aturan. Ini terbukti saat istrinya, Merry Roeslani, membuka toko bunga untuk membantu keuangan keluarga. Toko bunga tersebut berjalan dengan baik. Namun, saat ia akan dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi, sehari sebelumnya, Hoegeng meminta istrinya untuk menutup toko bunga. Ia beralasan, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Hoegeng Iman Santoso meninggal pada 24 Juli 2004 dini hari. Kini, di kala perilaku koruptif marak di masyarakat Indonesia di segala lapisan, kita merindukan sosok penegak hukum seperti dirinya. Sikapnya yang lurus, jujur, berani, dan sederhana sepatutnya menjadi teladan bagi kita semua.