1001indonesia.net – Majalah Tempo edisi 12-18 Agustus 2013 menyebut Haji Agus Salim sebagai diplomat yang cerdik, seorang pendebat ulung, santri yang kritis, dan ulama yang moderat. Disebut juga bahwa dirinya adalah seorang muslim yang “menemukan Islam untuk Indonesia: Islam yang tidak terikat adat kebisaan, tapi dapat menggerakkan bangsa untuk menentukan nasib sendiri.”
Haji Agus Salim merupakan salah satu tokoh pendiri bangsa. Ia memiliki kemampuan diplomasi yang tinggi dan menguasai berbagai bahasa asing. Meski demikian, figur yang berulang kali mewakili Indonesia dalam perundingan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia kala negara RI baru merdeka ini hidup dalam kesederhanaan. Tak terlintas sedikit pun gambaran seorang pejabat negara dengan segala macam kemudahan hidup dan beragam fasilitas—seperti pejabat-pejabat masa kini—pada dirinya.
Masa Awal
Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashadul Haq (yang berarti “pembela kebenaran”) pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Ayahnya adalah seorang jaksa kepala di Pengadilan Tinggi Riau bernama Sutan Mahmud Salim.
Pada umur 7 tahun, Agus Salim mulai sekolah di ELS (Eropeesche Lagere School). Ia kemudian melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) selama 5 tahun di Batavia. Prestasi sekolahnya cemerlang, ia menjadi lulusan HBS terbaik di 3 kota, yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Tamat HBS, ia diangkat menjadi penerjemah (drogman) sekaligus konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911). Tugasnya selain menjadi penerjemah juga mengurus jemaah haji dari Hindia Belanda (Indonesia) serta mewakili konsulat di acara-acara resmi kenegaraan di Mekkah dan Madinah.
Tugasnya menjadi penerjemah menguntungkannya karena dia berkesempatan bergaul leluasa dengan para tokoh dan ulama di Mekkah, Madinah, dan sekitarnya. Jarak Jeddah-Mekkah waktu itu bisa ditempuh dengan naik unta selama dua malam. Hal ini memungkinkan dirinya untuk mengunjungi pamannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1915), seorang ulama besar yang bertugas sebagai imam mazhab Syafei sekaligus guru besar di Masjidil Haram. Kepada pamannya ini, Agus Salim banyak menimba ilmu pengetahuan agama.
Pemikiran pamannya yang kritis dan terbuka terhadap pembaruan rupanya memikat dirinya. Meski lahir dalam keluarga muslim, Agus Salim tidak pernah mempelajari Islam secara formal. Sejak kecil ia menerima pendidikan Barat yang menjauhkannya dari Islam dan membuatnya kehilangan iman. Pertemuan Agus Salim dengan Syekh Ahmad Khatib menjadi titik balik dalam kehidupannya. Dengan tekun ia mendalami agama Islam, memperlancar bahasa Arabnya, dan menunaikan ibadah haji setiap tahun. Ia juga banyak mempelajari buku-buku dari para pemikir Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridha.
Belajar dari mereka, ia berpendapat bahwa dunia pendidikan Islam di Indonesia sangat memprihatinkan dan harus diperbaharui karena ketinggalan zaman. Agama Islam yang merupakan agama kemajuan diterima keliru oleh masyarakat terutama karena adanya kesalahan informasi dari pemerintah kolonial Belanda.
Hal inilah yang menjadikan Haji Agus Salim selalu rindu terhadap tanah airnya. Jiwa muda Haji Agus Salim yang masih membara tidak puas dengan keadaan yang dialami tanah airnya. Ia berniat untuk kembali ke kampung halamannya dan mendirikan sekolah swasta untuk mencerdaskan bangsa lewat pendidikan.
Ia kemudian mendirikan sekolah HIS (Holladd Inlandshe School), sebuah sekolah dasar swasta untuk orang-orang bumi putera. Pendidikan yang diajarkannya di HIS sangat istimewa karena selain mengajar pendidikan umum dan agama, ia juga menanamkan pendidikan kebangsaan dengan tujuan supaya anak-anak tidak rendah diri dan dapat menentukan nasibnya sendiri.
Setahun menetap di Koto Gadang, Agus salim menikah dengan Zainatun Zahar, saudara sepupu dari pihak bapak. Kelak pasangan ini dikaruniai 10 anak.
Sarekat Islam
Pada 1915, Agus Salim merantau ke tanah Jawa. Ia kemudian terjun ke dunia jurnalistik di harian Neratja sebagai Redaktur II dan kemudian menjadi Ketua Redaksi. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi pemimpin harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Selanjutnya sebagai redaktur harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Pada 1915 pula, Agus Salim mulai bergabung dengan Sarekat Islam. Saat itu, ia sedang mencari pekerjaan, seorang teman sekolah menemuinya, menawarinya untuk menjadi telik sandi pemerintah kolonial Belanda. Salim diminta untuk memata-matai HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI).
Agus Salim menerima tawaran tersebut dan mulai mendekati Tjokroaminoto. Kebetulan, saat itu SI hendak menggelar kongres di Surabaya dan Tjokroaminoto mengundangnya untuk hadir. Dari Surabaya, Agus Salim kemudian mengikuti Tjokroaminoto mengunjungi berbagai daerah di Jawa Timur untuk rapat SI.
Namun, alih-alih menjadi mata-mata di tubuh SI, Salim justru terkesan terhadap Tjokroaminoto. Ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan SI dan mengundurkan diri tugas yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Di organisasi ini, ia memainkan peran penting. Ia menjadi tokoh paling berpengaruh setelah Tjokroaminoto. Kecerdasan serta pengetahuannya yang tinggi dalam bidang agama membuat dia lekas menjadi orang kepercayaan Tjokroaminoto. Ia diangkat menjadi penasihat pemimpin SI itu. Bahkan ia merupakan satu-satunya intelektual yang mampu menandingi kelompok komunis yang akhirnya memecahkan diri menjadi SI Merah.
Pada 1921, Haji Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto berusaha melangsungkan kongres Islam di Cirebon yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam. Pada konggres yang kedua dilaksanakan di Garut, hasilnya menyerukan agar umat Islam membentuk suatu Majlis Ulama, hal ini baru berhasil pada kongres selanjutnya di kota Yogyakarta. Pada 1933, SI berubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia).
Pada 1934, HOS Cokroaminoto meninggal dunia. Sepeninggal HOS Cokroaminoto, dalam konggres PSII di Malang Haji Agus Salim terpilih menjadi anggota dewan PSII. Karena terjadi perselisihan dengan partai, maka pada 1936 Haji Agus Salim keluar dari PSII.
Ia kemudian mendirikan partai baru, partai “Penyadar”. Hanya dalam waktu satu tahun, partai baru ini telah memiliki 52 cabang di seluruh Indonesia. Tapi pengaruhnya memudar setelah Jepang masuk.
Pada masa pendudukan Jepang, ia didesak Bung Karno untuk mengikuti organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Ia pun terlibat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam badan ini, Agus Salim terlibat dalam panitia sembilan yang bertugas mempersiapkan rancangan Undang-Undang Dasar. Karena kemampuan yang mumpuni dalam bidang bahasa, ia juga diserahi tugas untuk menghaluskan susunan bahasa Indonesia dari rancangan Undang-Undang Dasar.
Setelah Indonesia merdeka, Haji Agus Salim ikut serta mengorganisasi Masyumi. Oleh pemerintah, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI. Sejak itulah dia aktif dalam pemerintahan Indonesia. Dalam pemerintahan mulai dari kabinet Sjahrir sampai dengan kabinet Hatta II, ia selalu menduduki jabatan menteri.
Seorang Diplomat Ulung
Haji Agus Salim adalah seorang diplomat ulung. Ia sering mewakili Indonesia dalam perundingan internasional. Ia menjadi anggota delegasi Indonesia baik pada Perjanjian Linggarjati maupun Perjanjian Renville.
Pada Juni 1947, ia memimpin delegasi Indonesia bertandang ke Mesir. Karena tangan dinginnya, Mesir menandatangani perjanjian persahabatan. Inilah pengakuan de jure pertama atas Indonesia yang dikuti oleh negara Arab lainnya, yaitu Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.
Haji Agus Salim juga berperan dalam perundingan di Dewan Keamanan PBB. Selain dirinya, anggota delegasi Indonesia antara lain Sutan Sjahrir, Charles Tambu, Soedjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo.
Dalam sidang di DK PBB ini, perjuangan Agus Salim dan kawan-kawan tak ringan. Saat itu, Belanda masih menganggap Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya. Berkat kepandaian diplomasi yang mereka miliki, beberapa hasil positif bisa diraih. Antara lain, lahirnya resolusi tentang gencatan senjata dan resolusi pembentukan Komisi Jasa Baik untuk menyelidiki kekejaman Belanda.
Pada 19 Desember 1948, ia bersama Bung Karno, Bung Hatta, serta para pemuka lainnya ditawan oleh Belanda dan dibuang ke Berastagi, lalu dipindah ke Perapat, dan terakhir dipindahkan ke pulau Bangka. Pada 6 Juli 1949, bersama-sama Presiden dan Wakil Presiden kembali ke Yogyakarta.
Dalam karier politiknya pasca Indonesia merdeka, Haji Agus Salim memainkan peran sangat penting terutama perundingan-perundingan internasional sehingga ia dijuluki “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man).
Ia pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet presidensial. Pada 1950 sampai akhir hayatnya, ia dipercaya sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri. Pada 1952, Haji Agus Salim menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada 1953, ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Pada Januari sampai Juni 1953, Haji Agus Salim memberi kuliah di Cornell University, Amerika Serikat.
Haji Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Ia ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang, Stadion Gelora Haji Agus Salim.
Sumber:
- Majalah Tempo: Edisi Khusus Kemerdekaan, Edisi 12-18 Agustus 2013.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim