Gus Dur, Pembela Kaum Minoritas dan Kelompok yang Terpinggirkan

6310
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
Gus Dur saat menjabat sebagai presiden RI. (Sumber: merdeka.com)

1001indonesia.net – Adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, salah satu tokoh tanah air yang memiliki sikap dan pikiran luar biasa. Salah satu pikiran dan sikapnya yang luar biasa ialah ketika dirinya menjadi yang terdepan dalam membela kelompok-kelompok terpinggirkan dan masyarakat minoritas.

Gus Dur dilahirkan pada 7 September 1940, di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur di pesantren kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syansuri. Ia lahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Ketika terlahir ia diberi nama Abdurrahman al-Dakhil, sebelum akhirnya diganti menjadi Abdurrahman Wahid.

Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun, pendidikannya di negara tersebut, tidak berjalan semestinya. Akhirnya, ia pindah ke Universitas Baghdad, di Irak dan selesai pada 1970.

Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Leiden, namun kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada 1971.

Dalam perjalanan kariernya, pada 1999 Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Kiprah selama memimpin bangsa ini, memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia tentang pentingnya bersikap demokratis dalam menempuh kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada 2009 disebabkan sakit yang dideritanya, Gus Dur akhirnya kembali kepangkuan Ilahi.

Upaya Gus Dur untuk memberikan pengaruh terhadap dunia, dapat ditelusuri dari pemikirannya dalam bingkai kebangsaan dan keagamaan. Pada ranah kebangsaan, ia merupakan tokoh yang berperan besar dalam menegakkan demokrasi. Sikap demokratis Gus Dur dapat diamati dari keberanian dirinya dalam membela hak-hak kelompok-kelompok minoritas di negeri ini.

Demokrasi mensyaratkan persamaan hak, menghargai kemajemukan, tegaknya hukum dan keadilan serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Konsep ini tidak sekadar disosialisasikan Gus Dur dalam berbagai bentuk forum seminar dan diskusi. Lebih dari itu, dia berusaha mempraktikkan hal ini dalam kehidupan. Meski dampaknya dicap sebagai orang yang membela minoritas dan mengabaikan mayoritas. Bahkan, tidak jarang sikap ini melahirkan kecemburuan dari sebagian kelompok mayoritas.

Padahal, ini dilakukan untuk memberikan pelajaran bagi kelompok mayoritas untuk menghargai hak-hak kelompok minoritas, sekaligus menciptakan rasa aman bagi kelompok tersebut. Sebab dalam demokrasi, semua kelompok berhak hidup secara aman dan nyaman tanpa ada tekanan dan intimidasi dari kelompok lain.

Dalam konteks keagamaan, Gus Dur dikenal sebagai pejuang pluralisme, paham yang menyatakan bahwa realitas sangat beragam dan berbeda-beda. Pluralisme mengandung pesan sosial yang amat tinggi dari ajaran agama.

Pesan itu terdapat dari nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam setiap agama, seperti kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong, dan sebagainya. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk merusak alam, merusak persaudaraan, dan mengembangkan konflik. Koridor kemanusiaan inilah yang diaktualisasikan Gus Dur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Melalui pluralisme, sejatinya ia ingin mengajak setiap umat beragama untuk saling menghormati dan saling menghargai terhadap sesama tanpa melihat suku, agama, ras, dan golongannya. Sehingga tidak muncul konflik atas nama agama. Dengan demikian, kerja sama antarumat beragama dalam membangun bangsa ke arah yang lebih baik dapat tercapai.

Sampai saat ini sosok Gus Dur masih sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Banyak kelompok masyarakat yang berusaha untuk melestarikan dan mengembangkan pemikirannya, di antaranya adalah para gusdurian.

Gus Dur

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

11 − seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.