1001indonesia.net – Kampung Adat Gurusina adalah salah satu kampung adat yang terletak di Kabupaten Ngada. Lokasi kampung adat yang disinyalir sebagai yang tertua di Flores ini tidak terlalu jauh dari Kampung Bena.
Perkampungan tradisional ini terletak 16 km dari Aimere dan 21 km dari Bajawa, tepatnya terletak di lereng Gunung Inerie. Seperti Kampung Bena, awalnya kampung ini berada di puncak Gunung Inerie. Namun, pada 1942, kampung ini dipindahkan ke dataran yang lebih rendah.
Kampung Gurusina dihuni oleh tiga suku besar, yakni Suku Kabi, Suku Agoazi, dan Suku Agokae. Kampung ini awalnya ditemukan oleh seorang berkebangsaan Belanda pada 1934. Konon, Gurusina sudah berdiri sekitar 50 abad yang lalu.
Mata pencaharian warga kampung umumnya adalah petani. Tanaman yang paling banyak dibudidayakan oleh warga Gurusina antara lain kemiri, kakao, jambu mete, dan cengkeh.
Penghuni Kampung Gurusina tinggal di 33 rumah adat yang terbuat dari bambu dan alang-alang. Rumahnya ditata berjajar berhadap-hadapan, sehingga terlihat unik. Tepat di tengah kampung berdiri tegak sebuah batu.
Meski tak seterkenal Kampung Bena, Gurusina sering dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Keunikan Gurusina terletak pada sisi tradisionalnya, dan sejarah megalitikumnya yang kuat.
Terdapat batu-batu megalitikum yang berdiri tegak di tengah kampung. Itu sebabnya, kampung ini juga disebut sebagai Kampung Megalitikum Gurusina.
Selain itu, kampung adat ini juga panorama alamnya yang memukau. Kampung ini berlatarkan Gunung Inerie yang berbentuk kerucut sempurna. Oleh karena bentuknya, Inerie kerap disebut sebagai “piramida alam-nya Flores”.
Pada Senin, 13 Agustus 2018, perkampungan tradisional Gurusina dilanda kebakaran. Ada 27 rumah adat ludes terbakar dan menyisakan enam rumah adat termasuk Pos Pariwisata di kampung itu.
Alat Musik Bambu Bombardom
Bambu bombardom merupakan alat musik khas Gurusina. Seperti yang dilansir Kompas.com, alat musik ini semua bahannya berasal dari bambu betong sedang dan agak tua. Bambu betong yang keras itu diukir bagian luarnya dengan motif-motif daerah setempat, tergantung orang yang mengukirnya.
Saat memainkan musik bambu bombardom, pemain musik meniup bagian atas lubang bambu itu sambil sesekali mengangkat naik turun bambunya sesuai dengan irama dan lagu yang dinyanyikan.
Bunyi musik tiup bambu bombardom sangat keras tetapi merdu sesuai dengan lagu-lagu yang dipentaskan.
Pementasan alat musik ini dipadukan dengan musik tiup seruling dari bambu yang berukuran kecil. Dalam pementasan, peniup musik bambu bombardom berada di paling belakang, sementara peniup musik seruling berada di barisan depan dan tengah.
Baca juga: Wae Rebo, Keindahan Desa Tradisional Indonesia