1001indonesia.net – Tepat 70 tahun lalu, Drs. H. Wahyu Sardono, M.S. atau lebih dikenal dengan sebutan Dono Warkop dilahirkan di Delangu, Klaten, Jawa Tengah. Tak hanya dikenal sebagai pelawak, Dono merupakan sosok intelektual yang cerdas dan kritis.
Saat menjadi mahasiswa jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia, Dono aktif mengelola majalah mahasiswa independen. Majalah itu tak terikat dalam struktur kampus. Dananya dari kantong sendiri.
Dono juga merupakan anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) bersama Rudy Badil, Kasino, dan Nanu. Tampaknya aktivitas ini begitu berkesan bagi Dono dan kawan-kawan. Ini tampak dari film-film Warkop DKI yang banyak memperlihatkan aktivitas mereka sebagai pecinta alam.
Baca juga: Warkop DKI, Legenda Lawak Indonesia
Memasuki tahun kelima sebagai mahasiswa Sosiologi UI, Dono diangkat menjadi asisten dosen Prof. Selo Soemardjan yang dikenal sebagai “Bapak Sosiologi Indonesia”. Beberapa kali, Dono kebagian tugas mengajar kuliah umum ketika Prof. Selo Sumardjan berhalangan hadir.
Setelah menamatkan kuliahnya, Dono sempat menjadi dosen, tetapi tidak lama. Dono lebih memilih untuk menggeluti dunia film bersama Kasino dan Indro.
Dono juga dikenal sebagai sosok yang kritis. Dono aktif memberikan kritik terhadap penyimpangan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat, baik melalui aksi demonstrasi maupun melalui media tulisan dan gambar.
Di antaranya, Dono bersama Kasino dan Nanu turut serta dalam aksi demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974 sebagai bentuk protes atas kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap terlalu berpihak pada investasi asing. Menurut cerita Kasino, pada peristiwa yang berujung rusuh itu, Dono tampil sebagai salah satu orator.
Menurut kesaksian Budiarto Shambazy, Dono bahkan sempat dipopor senjata oleh tentara saat kejadian itu. Ketika kawan-kawan lain lari tunggang langgang saat tentara meletuskan tembakan peringatan, Dono justru menyongsong barisan aparat. Dono memukul balik dengan menyemprotkan selang hydrant ke arah aparat.
Dono juga aktif menyuarakan kritik sosialnya melalui gambar karikatur. Tak banyak yang tahu bahwa Dono pernah berprofesi sebagai karikaturis. Pada 1970-an, Dono aktif mengirim gambar-gambarnya ke sejumlah media cetak.
Menurut pengakuan adiknya, Dono sudah suka menggambar karikatur sejak SMP. Kala itu, gambar-gambarnya ditempel di majalah dinding sekolah.
Melalui gambar karikatur, Dono menyindir sitiasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Beberapa gambar Dono dimuat di salah satu koran nasional milik Angkatan Laut El Bahar, Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba, dan majalah Vista.
Dono juga sempat menjadi penulis novel. Di antara karya-karyanya adalah Balada Paijo (1987), Cemara-cemara Kampus (1988), Bila Satpam Bercinta (1999), Dua Batang Ilalang (1999), dan Senggol Kiri Senggol Kanan yang baru diterbitkan pada 2009.
Salah satu karnyanya, Dua Batang Ilalang, mengisahkan tentang seorang mahasiswa yang dikeluarkan oleh kampusnya karena terlibat aksi menentang pemerintah.
Saat menjadi pelawak ternama dalam bendera Warkop DKI pun, sikap kritis Dono tidak mengendur. Ini tampak dalam film-filmnya yang tak hanya menghibur, tapi juga sarat dengan kritik sosial.
Salah satu bentuk kritik sosial Warkop DKI adalah ungkapan satir yang disematkan di bagian akhir filmnya: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Ungkapan itu dimaksudkan sebagai sindiran kepada pemerintah Orde Baru yang kerap memberangus karya yang kritis pada pemerintahan.
Pada 1998, Dono kembali ikut terlibat dalam demonstrasi mahasiswa. Dono merupakan salah satu aktivis politik yang ikut menyusun lahirnya Reformasi 1998. Ia menyiapkan terms of reference untuk seminar-seminar, mengatur kunjungan ke DPR, hingga menyiasati demo-demo mahasiswa.
Tampaknya, sikap kritis Dono tak lekang oleh waktu. Sejak ia menjadi mahasiswa hingga setelah malang-melintang di dunia perfilman dan menjadi komedian ternama, Dono selalu menyuarakan kebenaran dengan cara-cara yang cerdas dan kreatif.
Kepergiannya pada 30 Desember 2001 akibat kanker paru-paru merupakan kehilangan besar bagi kita semua. Seperti yang diungkapkan Indro sahabatnya, seorang seniman (termasuk Dono Warkop) tak akan pernah tergantikan.