1001indonesia.net – Kanjeng Gusti Pangeran Djatikoesoemo merupakan putra ke-23 Raja Surakarta, Sri Susuhunan Paku Buwono X, yang aktif berjuang pada periode Perang Kemerdekaan.
Pangeran kelahiran Solo 1 Juli 1917 itu merupakan alumni Sekolah Tinggi Teknik di Delf, Belanda. Pada 1941, ia mengikuti pendidikan militer CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren), perwira cadangan di Bandung. Di sana, ia berhasil meraih pangkat kopral.
Semasa pendudukan Jepang, Djatikoesoemo juga mengikuti pelatihan perwira PETA (Pembela Tanah Air). Ia kemudian ditempatkan pada Daidan (Batalyon) PETA Solo.
Berbeda dengan bangsawan Keraton Surakarta yang sebagian bersimpati kepada penguasa kolonial, Djatikoesoemo sejak awal telah langsung memenuhi panggilan untuk membela tanah airnya. Setelah hengkangnya Jepang dari Indonesia, ia menjadi komandan BKR di Solo dengan pangkat mayor.
Dalam karier ketenteraannya, suami dari Raden Ayu Suharsi ini pernah menjadi Panglima IV Divisi Salatiga dan Panglima Divisi V Pasukan T (Tjadangan) Ronggolawe (1946-1948). Pada 1948, Wakil Presiden Moh. Hatta mengangkatnya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) merangkap sebagai Gubernur AKMIL dengan pangkat Kolonel. Tercatat, ia adalah orang pertama yang menjabat sebagai KSAD.
Pada Agustus 1950-Maret 1952, ia dipercaya sebagai kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta dan Kepala Biro Pendidikan Pusat Kementerian Pertahanan di Jakarta. Kemudian pada bulan April 1952-1955, ia menjabat sebagai komandan SSKAD (sekarang Seskoad) di Bandung. Selanjutnya, mulai bulan April 1955 sampai Agustus 1958, Djatikoesoemo menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Di bidang pemerintahan, Djatikusumo pernah ditugasi menjadi Konsul Jenderal RI di Singapura pada 1958. Selanjutnya, ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telegraf dan Telepon dengan pangkat Mayor Jenderal pada 1959. Ia menjabat sebagai menteri dari Kabinet Kerja I sampai Kabinet Kerja III (1959-1963).
Saat menjadi menteri itulah, ia memprakarsai pertunjukan sendratari Ramayana dalam upaya mengembangkan pariwisata Indonesia. Pertunjukan pertama digelar tahun 1961, melibatkan 100 penari, dan dilaksanakan di panggung terbuka dengan latar belakang Candi Prambanan.
Ia kemudian diangkat kembali menjadi duta besar untuk Malaysia (1963), Maroko (1965), dan Prancis (1967). Djatikoesoemo memasuki masa purna tugas dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI pada 1973.
Djatikoesoemo meninggal pada 4 Juli 1992 di Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Republik Indonesia Nomor 073/TK/ tahun 2002, ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.