Dhukutan, Membangun Kerukunan melalui Tradisi

1899
Tradisi dhukutan
Foto: jatengprov.go.id

1001indonesia.net – Tradisi dhukutan atau dukutan lahir dari upaya mendamaikan dua kampung yang berkelahi. Tradisi berupa upacara bersih desa ini dilakukan secara turun-temurun oleh warga di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Tradisi dhukutan dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon wuku Dukut, wuku ke 29 dari 30 wuku dalam sistem penanggalan Jawa. Tradisi ini merupakan peringatan hari pernikahan Kyai Menggung dengan Nyi Rasa Putih. Hal ini tertulis pada situs purbakala Candi Menggung.

Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih dipercaya berhasil mendamaikan warga Nglurah Lor dan Nglurah Kidul yang sebelumnya selalu bertikai. Tradisi yang digelar 6 bulan sekali ini kemudian menjadi simbol pemersatu kedua kampung.

Sebelum prosesi dhukutan dimulai, warga desa menyiapkan sesaji berupa tumpeng nasi jagung, tempe bakar, gandik, pisang, berbagai pala pendhem (umbi-umbian), jajanan pasar, pisang rebus, dan sayuran jantung pisang.

Dalam ritual ini, digunakan tumpeng yang terbuat dari nasi jagung. Tempe bakar digunakan sebagai pengganti ayam ingkung. Hal ini dilakukan lantaran dalam tradisi dhukutan, tidak satu pun bahan sesaji boleh diambil dari sesuatu yang bernyawa. 

Sesaji ini sudah dipersiapkan sehari sebelum acara dilangsungkan. Sesaji kemudian disimpan di sebuah bale yang letaknya tidak begitu jauh dari Situs Menggung.

Sesaji disimpan dengan cara dipisahkan menjadi dua bagian, yakni sesaji utama dan sesaji pendamping. Sesaji utama disimpan di sebuah ruang khusus yang dinamakan tinon. Sedangkan sesaji pendamping diletakkan di luar tinon.

Prosesi sesaji dimulai dengan mendoakan sesaji yang dilakukan oleh para sesepuh desa. Usai didoakan, kemudian dilakukanlah tradisi tawur sesaji, yaitu ritual “tawuran” dengan saling melempar sesaji.

Pelaksanaan tawur sesaji dilaksanakan di dua tempat, yakni pelataran Situs Menggung dan sebuah punden desa lainnya yang dinamakan Kali Jero. Sebelum acara “tawuran” digelar secara terbuka, para pemuda terlebih dahulu melemparkan sesaji kepada warga yang hadir sembari memutari Situs Menggung.

Uniknya, ‘tawuran’ ini justru dinikmati oleh warga. Warga yang terkena lemparan tidak akan marah. Mereka justru menganggap lemparan sesaji itu akan mendatangkan keberkahan. Ritual tawur sesaji merupakan simbol membuang hal-hal negatif dalam diri manusia.

Baca juga: Perang Topat, Merayakan Keberagaman di Pura Lingsar Lombok

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 4 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.