1001indonesia.net – Celepuk siau (Otus siaoensis) adalah salah satu dari tiga jenis burung hantu endemik Sulawesi. Dua lainnya adalah celepuk sangihe dan celepuk sulawesi. Diketahui, habitat celepuk siau terbatas hanya di Pulau Siau, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Belum banyak yang bisa diketahui mengenai burung yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Siau Scops-owl ini. Awalnya, burung yang aktif di malam hari ini dianggap sebagai anak jenis dari celepuk maluku (Otus magicus). Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Frank Lambert dan Pamela Rasmussen pada 1998, spesies ini layak dijadikan jenis tersendiri.
Burung ini termasuk dalam kelompok Strigidae, yaitu jenis burung hantu asli dengan karakteristik bentuk kepala yang bundar dan membulat. Sebagai gambaran, burung hantu merupakan jenis satwa murni karnivora (raptor) atau pemakan daging, termasuk ke dalam jenis satwa malam (nocturnal).
Celepuk siau ini berukuran sekitar 17 cm. Diperkirakan burung ini memakan avertebrata. Sebagaimana tipikal celepuk, jenis ini memiliki ciri bulu tubuh dengan dominasi cokelat dan tonjolan bulu seperti telinga yang memanjang dari bulu alis, kepala dan kaki yang relatif besar. Sayap dan ekornya berpalang putih halus.
Hingga tahun 1995, habitat celepuk siau diketahui masih ada di sekitar Danau Kepetta yang terletak di bagian selatan Pulau Siau. Tetapi hutan yang sudah tinggal sedikit itu pun kemudian dibuka dan dijadikan lahan pertanian. Hutan yang masih tersisa hanyalah di sekitar puncak Gunung Tamata seluas 50 hektare, di ketinggian di atas 800 meter dari permukaan laut.
Pulau Siau yang menjadi habitat burung ini termasuk pulau kecil dengan Gunung Karangetang, gunung berapi yang sangat aktif, di sebelah utara. Sementara di bagian tengah pulau terdapat Gunung Tamata, bekas gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Hutan yang yang tersisa di Pulau Siau sudah sangat sempit dan berada di puncak Gunung Tamata.
Populasinya yang diperkirakan tinggal 50 individu dewasa menjadikan celepuk siau sebagai salah satu burung paling langka di Indonesia. Kecilnya habitat dan tingkat deforestasi yang diperkirakan tinggi di Pulau Siau menjadikan jenis ini berstatus Kritis (Critically Endangered). Survei menyeluruh diperlukan untuk melengkapi informasi ekologi dan populasinya.
Baca juga: Punai Timor, Burung Endemik NTT yang Semakin Langka