1001indonesia.net – Di antara hal yang membanggakan tentang Indonesia adalah kemampuannya untuk mengolah keberagaman. Terdiri atas 500 bahasa dan 300 kelompok etnik atau tepatnya 1.340 suku (data 2010), Indonesia adalah negara yang paling beragam di dunia. Semua keberagaman tersebut ada dalam satu negara.
Ini berbeda dengan beberapa tempat di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Beberapa wilayah di sana, masyarakatnya terikat pada suku yang sama, memiliki bahasa yang serupa, dan agama yang relatif homogen, tapi terpecah dalam beberapa negara. Bahkan ada negara Eropa yang memiliki keragaman suku dan bahasa tapi kemudian pecah menjadi beberapa negara, seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Fakta ini menegaskan bahwa pada dasarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai berkah. Berbagai perbedaan justru memperkaya kehidupan masyarakat Indonesia dan memperkuat bangunan kebangsaan kita.
Hal ini terungkap dalam acara bedah buku Indonesia: Zamrud Toleransi dan Menghargai Perbedaan: Pendidikan Toleransi untuk Anak di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Maret 2017. Acara ini terselenggara atas kerja sama PSIK Indonesia, Friedrich-Ebert-Stiftung Perwakilan Indonesia, serta Fakultas Keguruan dan Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Toleransi
Pada kesempatan ini, Safyiq Hasyim, Ph.D. mengungkapkan bahwa pada awalnya nilai toleransi merupakan sikap penghormatan terhadap apa yang kodrati atau apa yang datangnya dari Tuhan, seperti perbedaan warna kulit. Apa pun warna kulitnya, setiap orang harus dihormati, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Baru kemudian, konsep toleransi berkembang pada ranah agama.
Pada perkembangannya, persoalan toleransi di Indonesia saat ini semakin rumit. Makna toleransi “diperebutkan”. Sebagian mengartikan toleransi sebagai nilai untuk hidup bersama secara damai. Sebagian lain menggunakan konsep toleransi sebagai alat untuk menegaskan identitas partikularnya. Itu sebabnya, banyak pihak yang bersikap intoleran dan menyebar kebencian, tapi di sisi lain—dengan dalih kebebasan berpendapat—menuntut negara dan pihak lain untuk mengakui haknya untuk menyampaikan dan berbeda pendapat.
Syafiq Hasyim melanjutkan, saat ini di Indonesia sedang terjadi involusi toleransi. Di satu sisi, konservatisme agama semakin menguat. Di sisi lain, agama dijadikan alat politik bagi pihak-pihak tertentu yang ingin meraih kekuasaan dengan cepat. Akibatnya, perbedaan sikap politik yang sebenarnya wajar dalam negara demokrasi dilarikan ke wacana agama dan berpotensi pada perpecahan bangsa.
Untuk itu perlu dibedakan 2 jenis toleransi. Pertama, toleransi yang hanya menerima perbedaan secara pasif, tapi tidak ambil peduli dengan persoalan-persoalan yang dimiliki oleh orang/kelompok yang berbeda. Inilah jenis toleransi negatif, karena masing-masing pihak hanya mengurusi urusannya sendiri dan menegasi urusan orang atau kelompok lain sebagai bukan urusannya.
Yang perlu kita upayakan adalah toleransi positif. Di sini, kita tidak hanya mengakui adanya perbedaan, tapi juga terlibat secara aktif pada persoalan yang dialami oleh orang-orang dari kelompok yang berbeda. Kita tidak lagi melihat persoalan mereka sebagai hanya urusan mereka, tetapi sebagai persoalan bersama. Yang diperjuangkan dalam toleransi ini adalah rasa persaudaraan dalam keberagaman.
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki modal yang cukup besar dalam membangun nilai toleransi, seperti nilai-nilai budaya dan agama yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia juga memiliki Pancasila sebagai dasar negara, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, karena terdapat berbagai macam persoalan yang menghadang, kita tidak boleh hanya mengandalkan nilai-nilai yang sudah ada tersebut. Nilai toleransi harus terus diupayakan. Menurut Ala’i Nadjib, M.A., ada beberapa hal yang bisa dilakukan, antara lain dengan mengampanyekan perdamaian, mengintensifkan kerja sama atau pertemuan antaragama dan kelompok, serta mengembangkan pendidikan yang mengusung nilai keberagaman sejak usia dini. Di sini, peran pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, para pendidik, dan orangtua sangat diperlukan.
Diskusi bedah buku yang diadakan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini merupakan acara yang pertama dari rangkaian bedah buku yang direncanakan. Acara bedah buku selanjutnya akan diselenggarakan di Pekanbaru (11 April 2017), Lombok (3 Mei 2017), dan Palu (17 Mei 2017).