Batombe, Tradisi Berbalas Pantun di Sumatra Barat

3092
batombe
Foto: blogkulo.com

1001indonesia.net – Nusantara kaya akan tradisi lisan. Salah satunya adalah tradisi berbalas pantun di Sumatra Barat yang disebut batombe. Awalnya, batombe merupakan kegiatan yang dilakukan orang-orang di Nagari Abai untuk mengusir kepenatan saat bergotong royong membangun Rumah Gadang 21 Ruang.

Rumah Gadang 21 Ruang terbilang unik dibanding rumah gadang lainnya. Dinamakan demikian karena rumah gadang yang menjadi cikal bakal kesenian batombe ini memiliki 21 ruang sehingga bangunannya sangat panjang. Pada umumnya, rumah gadang di Minangkabau hanya memiliki 9 ruang.

Nagari Abai sendiri terletak di Solok Selatan, sebuah kabupaten di Sumatera Barat yang mendapat julukan “Nagari Seribu Rumah Gadang”. Satu di antara penyebab julukan itu adalah karena keunikan rumah gadang Abai tersebut.

Sejarah

Suatu ketika, masyarakat Nagari Abai memutuskan untuk membangun rumah gadang karena merasa terancam oleh binatang buas. Rumah gadang yang mereka bangun secara bergotong royong itu menjadi yang pertama di nagari itu. Untuk menghibur para pria dewasa yang merasa jenuh dalam pekerjaan itu, diadakanlah kegiatan berbalas pantun.

Baca juga: Rumah Gadang Minangkabau, Sumatra Barat

Konon, di tengah keceriaan berbalas pantun tersebut, masyarakat dikejutkan dengan keanehan. Satu batang kayu yang telah selesai ditebang tidak bisa ditarik menuju lokasi pembangunan. Orang-orang kemudian bermusyarah untuk mencari pemecahannya.

Hasilnya, diputuskan untuk menyembelih seekor kerbau. Darah sembelihan tersebut lalu dipercikkan pada kayu sebagai penghormatan dan mohon izin pada makhluk halus penghuni batang kayu itu.

Sampai hari ini, ritual penyembelihan binatang ternak itu selalu dilakukan setiap kali batombe akan dipertunjukkan. Ritual penyembelihan kerbau pada pertunjukan batombe menjadi ketentuan yang harus dipatuhi oleh semua anggota masyarakat Nagari Abai. Jika hal itu tidak dilakukan, maka yang bertanggung jawab pada pertunjukan batombe akan dikenai denda adat.

Istilah “batombe” berasal dari kata dasar tombe yang artinya tonggak atau tiang, musyawarah, dan persatuan. Kata dasar tombe mendapat awalan ba- sehingga dapat diartikan memiliki tonggak, melakukan musyawarah, dan membentuk persatuan.

Sampai sekarang, batombe masih identik dengan Rumah Gadang 21 Ruang yang merupakan rumah gadang terpanjang di Sumatera Barat, meskipun di rumah gadang yang lain pun batombe dipertunjukkan pula.

Masyarakat Nagari Abai. sangat menghargai “kesejarahan” batombe sehingga setiap informasi tentang keberadaan batombe, mereka selalu merujuknya ke Rumah Gadang 21 Ruang.

Rumah Gadang 21 Ruang dimiliki oleh suku Melayu Sigintiu, satu di antara 13 suku yang ada di Nagari Abai. Rumah gadang ini pula yang paling banyak menampilkan batombe dibanding rumah-rumah gadang yang lain di Nagari Abai.

Pertunjukan

Seperti yang diungkapkan Eva Krisna, batombe dipertunjukkan oleh laki-laki dan perempuan. Pertunjukan kesenian ini biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari, antara pukul 21.00 hingga pukul 04.00 WIB, dalam rumah gadang.

Para pemain batombe mengenakan pakaian khusus, baju guntiang cino dan celana galembong tapak itiak. Warnanya bermacam-macam, ada merah, hijau, dan hitam. Pakaian dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan, serta sehelai kain yang diikatkan di pinggang (sisampiang). Pada bagian leher dan lengan baju yang dikenakan terdapat hiasan sulaman benang emas (benang makao).

Batombe biasanya diiringi dengan irama musik yang gembira. Alat musik yang dipakai biasanya terdiri atas rebab, gendang, dan talempong. Ketiga alat musik tradisional itu digesek, ditabuh, dan dipukul dengan cepat mengikuti irama dendang dan tarian yang dibawakan oleh para pemain batombe.

Baca juga: Talempong, Alat Musik Tradisional Khas Minangkabau

Pertunjukan biasanya dimulai setelah pembacaan pantun pembukaan oleh penghulu (datuk). Pertunjukan dilanjutkan oleh para pemain batombe yang saling berdendang (berbalas pantun) dengan menggunakan bahasa Minangkabau dialek setempat.

Berbalas pantun dilakukan secara bergantian. Pertama dilakukan oleh laki-laki, kemudian disusul oleh perempuan. Usia para pemain tidak memiliki batasan tertentu, syaratnya hanyalah mahir menggubah pantun.

Para pemain batombe duduk membentuk formasi lingkaran. Satu orang laki-laki lagi berada di tengah lingkaran sebagai pedendang. Kemudian mereka berdiri, melakukan gerakan berputar dan kemudian berbalik, tetapi tetap dalam bentuk lingkaran sambil berdendang.

Gerakan penari laki-laki sesekali memukul bagian celananya yang komprang dengan kedua tangan, seolah bertepuk tangan sehingga menimbulkan suara khas, “bug, bug, bug.” Semakin lama gerakan mereka semakin cepat dan dinamis. Warga yang menyaksikan batombe semakin hanyut.

Beberapa bocah laki-laki dan perempuan turut bernyanyi dan mengikuti gerakan pemain batombe memberikan kesan bahwa mereka ikut terhibur dengan sajian batombe. Semakin larut malam, pertunjukan secara khusus hanya diramaikan oleh orang dewasa saja.

Pantun-pantun yang didendangkan pun lebih kepada pantun percintaan. Para tamu yang hadir juga dapat bergabung untuk menari dan berdendang menunjukkan kemampuan dalam berbalas pantun.

Mereka saling menggoda dan saling melibatkan emosi individu ke dalam suasana pertunjukan sehingga batombe pun dapat digunakan sebagai media untuk menjalin cinta.

Saat ini, biasanya batombe dibawakan khusus sebagai sarana penghibur bagi tamu yang datang dari jauh, seperti para perantau dan wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai. Biasanya, kegiatan tersebut diadakan pada waktu libur panjang sehingga para perantau dan wisatawan banyak datang ke Nagari tersebut, seperti hari raya Idul Fitri dan libur Nasional.

Baca juga: Randai Kuantan, Seni Pertunjukan Tradisional dari Kuansing

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 − 13 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.