1001indonesia.net – Hampir satu abad, batik Jambi tenggelam bersama kekalahan Sultan Jambi dari pihak kolonial Belanda. Kini, batik Jambi kembali populer. Namun, kekayaan pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami yang dimiliki kerajinan tangan ini sekarang nyaris punah.
Dulu, tamanan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna alami mudah didapatkan. Sebut saja kayu bulian, kulit lempato, kulit kayu marelang, getah kayu tunjung, atau kayu jelawe. Namun, sejak banyak hutan dikonversi menjadi perkebunan dan tanaman industri, bahan untuk membuat pewarna alami semakin sulit didapatkan, bahkan sebagian sudah hilang.
Pewarnaan Alami
Untuk membuat batik dengan pewarna alami membutuhkan proses yang panjang. Kain direndam dalam rebusan tanaman selama berhari-hari dan berulang-ulang. Berbeda dengan pewarna buatan yang prosesnya jauh lebih cepat.
Tapi, menggunakan pewarna alami memiliki banyak keuntungan. Pewarna alami menghasilkan warna-warna yang indah dan tampak elegan. Kain batiknya lebih awet. Secara ekonomi, harganya lebih mahal ketimbang jika menggunakan pewarna buatan. Juga limbahnya ramah lingkungan.
Sebab itu, beberapa perajin batik Jambi masih mempertahankan penggunaan pewarna alami yang bahannya mereka ambil dari lingkungan sekitar. Misalnya, untuk mendapatkan warna cokelat, mereka menggunakan buah jengkol dan serbuk kayu bulian. Warna krem didapat dari rebusan daun jambu, warna kuning dari kayu lambato dan rebusan daun nangka, sementara warna biru didapat dari kayu nilo dan daun indigo.
Masalahnya, tidak semua bahan pewarna alami sekarang mudah didapatkan, seperti bahan untuk membuat warna merah. Bahan untuk membuat warna merah adalah jernang atau bisa juga kayu secang.
Tapi, dua jenis tanaman ini sekarang langka. Padahal, batik Jambi hampir identik dengan warna merah. Hampir semua produksi batik Jambi memerlukan paduan warna merah, baik merah terang maupun merah kelam. Sebab itu, perajin batik menggunakan bahan kimia untuk membuat warna merah.
Sejarah
Konon, kerajinan batik Jambi berasal dari Jawa, pertama kali diperkenalkan di kawasan Seberang, Kota Jambi, pada abad ke-17 Masehi. Seiring waktu, batik dengan motif utama flora dan fauna ini menjadi kain khusus yang dipakai keluarga Sultan Jambi.
Selain batik, Jambi juga telah mengenal benang emas dan tenun ikat. Dulu, batik, benang emas, dan tenun ikat hanya dikerjakan oleh segelintir orang.
Karena terbatas hanya digunakan oleh kalangan atas maka kekalahan kesultanan Jambi dari penjajah kolonial turut meredupkan kerajinan batik Jambi. Kalaupun ada yang masih meneruskan kerajinan batik, itu pun sangat jarang dan dikerjakan oleh beberapa pengrajin yang sudah berusia tua.
Setelah terkubur selama hampir 100 tahun, pada 1980-an, tradisi membuat batik di Jambi kembali hidup. Itu terjadi atas jasa istri-istri gubernur saat itu. Sri Soedewi Maschun Sofwan dan Luly Abdurrahman mendatangkan pembatik dari Yogyakarta untuk melatih kaum perempuan di kawasan Seberang.
Batik Jambi dikembangkan secara insentif dan diproduksi massal. Pada era 1980-an, perkembangan batik didominasi oleh warna-warna asli Jambi. Kemudian pada era 90-an, mulai marak warna-warna batik khas pekalongan dan cirebonan. Kini, pengembangan batik Jambi dikembalikan ke warna dan motif aslinya yang khas.
Namun, meski industri batik Jambi hidup kembali, para perajin muda menggunakan pewarna buatan. Hanya segelintir perajin yang mewarisi keahlian batik secara turun-menurun yang mencoba bertahan dengan pewarna alami.
Padahal saat ini, banyak konsumen yang semakin menyukai pewarna alami. Pewarna alami tidak berbahaya, sangat sesuai bagi kulit yang sensitif. Semakin lama disimpan, warnanya juga akan semakin bagus.
*) Diolah dari berbagai sumber.