Batik Banyumasan, Cerminan Budaya Wong Banyumasan

4576
Batik Banyumasan
Ragam motif batik banyumasan. (Foto: banyumasnews.com)

1001indonesia.net – Ciri batik banyumasan sesuai dengan ciri wong banyumasan yang bersifat cablaka dan tanpa kasta (Kompas 24/7/2016). Ciri ini merupakan pilihan jati diri orang Banyumas yang berjarak dengan dengan budaya trah Mataram, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang dianggap sebagai pusat baru kebudayaan Jawa.

Budaya Banyumasan

Orang Banyumas senang mengidentikkan dirinya dengan Bawor, tokoh punakawan yang paling lucu. Karakter ini memiliki sifat cablaka, apa adanya tanpa kepura-puraan. Selain Bawor, tokoh pewayangan lain yang memiliki sifat cablaka adalah Werkudara atau Bima. Bukan tanpa alasan orang Banyumas lebih nyaman memilih Bawor ketimbang Werkudara yang berasal dari keluarga bangsawan.

Tokoh Bawor adalah satu dari 3 anak Semar. Karakter ini mewakili sifat jenaka dan sikap seenaknya khas rakyat jelata. Berbeda dengan kaum bangsawan yang harus menjaga wibawa, orang biasa bisa bertindak sembarangan tanpa takut kehilangan nama. Layaknya Bawor yang senang bicara keras dan ceplas-ceplos mengomentari apa saja, ketimbang mendongkol karena harus memendam perasaan.

Pilihan Bawor sebagai identitas banyumasan ini menegaskan keberjarakan budaya Banyumas dari budaya keraton yang mengedepankan kehalusan. Bawor bagi orang banyumasan merupakan politik identitas menghadapi dominasi budaya Mataram yang sampai sekarang diteruskan oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Orang Banyumas tahu bahwa mereka dipandang udik oleh kedua pusat kebudayaan Mataram itu. Oleh sebab itu, mereka sengaja memilih figur Bawor yang rakyat jelata ketimbang Werkudara untuk mengolok-olok kebangsawanan.

Batik Banyumasan

Meski harus diakui bersumber dari tradisi Kasusunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, tapi adanya keberjarakan membuat batik banyumasan berkembang dengan karakter yang berbeda. Jati diri orang banyumasan yang cablaka adalah kunci memahami asal-usul tradisi batik banyumasan, yang saat ini tersebar di Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Banyumas, dan Purwokerto.

Corak batik banyumasan adalah alam yang digambarkan apa adanya, tanpa motif yang rumit-rumit. Kekhasan batik ini adalah warna gelap yang mendominasi. Ciri ini berasal dari teknik pencelupan yang berkebalikan dengan teknik pencelupan batik gaya Surakarta.  Di Banyumas, pencelupan warna sogan yang gelap didahulukan.

Hingga kini, motif batik banyumasan berkembang cepat. Apalagi setelah seorang pengusaha batik Nyonya Von Oosterom memindahkan pabrik batiknya dari Ungaran ke Banyumas pada 1855. Batik banyumasan kemudian mengadopsi langgam batik dari pesisir utara Jawa, memunculkan langgam motif panastroman.

Langgam panastroman mengenalkan warna merah khas pesisir utara dengan ragam warna merah tua, biru, hijau, hitam, dengan latar kuning gading bercorak Eropa. Kesemuanya berpadu dan menghasilkan variasi motif yang kaya, dengan ketegasan warna gelap yang menjadi ciri khas batik banyumasan.

Periode keemasan batik banyumasan terjadi pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada masa itu, batik banyumasan menjadi sangat populer di Jawa melalui saluran batik di Bandung. Banyak pengusaha batik baik orang Indo-Eropa maupun orang Jawa. Muncul pula para saudagar batik peranakan Tionghoa. Kesemuanya meramaikan usaha batik banyumasan.

Namun, ramainya industri batik sempat terhenti pada 1980-an. Selain karena masalah regenerasi, surutnya batik tulis banyumasan dikarenakan tak mampu bersaing dengan batik printing. Metode printing atau cap yang lebih sederhana dan cepat mampu menekan biaya produksi sehingga batik yang dihasilkan pun harganya jauh lebih murah. Belum lagi hadirnya tekstil bermotif batik yang juga menjadi ancaman.

Saat ini, batik banyumasan mencoba bangkit kembali. Terutama sejak orang-orang mulai sadar kekayaan batik lokal yang terancam dan sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.  Para perajin mulai dimotivasi dan motif-motif asli didata kembali. Secara aktif, pemerintah mempromosikan batik banyumasan dengan mewajibkan para PNS dan siswa-siswi sekolah untuk mengenakan batik. Masyarakat luas pun ikut berperan pada bangkitnya batik banyumasan. Permintaan yang meningkat drastis menghidupkan kembali industri ini.

Pada akhirnya peran produsen yang menjadi kunci apakah kebangkitan batik ini akan berlangsung terus hingga mencapai masa jayanya kembali atau tidak.  Para pengusaha dituntut inovasi dan kreativitasnya untuk dapat membuat batik yang memiliki nilai seni tinggi dengan harga yang terjangkau.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eight − one =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.