Amir Hamzah, Mengenang Raja Penyair Pujangga Baru

1679
Amir Hamzah
Amir Hamzah di Tanjung Pura, Sumatra Utara. (Foto: Tempo.co)

1001indonesia.net – Amir Hamzah merupakan penyair Angkatan Pujangga Baru yang paling penting. Sebagai penyair, ia turut berjasa dalam mengembangkan bahasa Indonesia. Sebab itu, Chairil mengaguminya, dan kritikus sastra HB Jassin menjulukinya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru.

Melalui puisi-puisinya, Amir kerap melakukan aneka percobaan dalam berbahasa. Sapardi Djoko Damono (Tempo, 2018) mengungkapkan, Amir menggunakan kata dari bahasa yang sudah lampau, yang hanya ada dalam kitab-kitab. Suatu hal yang tidak dilakukan oleh penyair-penyair lain pada zamannya.

Kala itu, Amir hidup di tengah-tengah perpusian yang cenderung menggunakan tuturan lisan atau bahasa yang dipakai orang kebanyakan. Rekan-rekan seangkatannya cenderung mengambil bahasa lisan yang berkembang secara dinamis di masyarakat .

Namun, dalam mengembangkan bahasa, Amir mengambil jalan yang berbeda. Amir memilih untuk kembali pada bahasa lama, seperti bahasa Melayu klasik, Jawa kuno, dan bahkan Sanskerta.

Melalui Amir, kita memahami bahwa pengembangan bahasa tidak hanya dilakukan dengan memandang apa yang sedang terjadi di masa kini, tapi juga yang pernah ada di masa lampau.

Baca juga: Sastra Angkatan Balai Pustaka

Berasal dari keluarga istana Kesultanan Langkat

Lahir dengan nama Tengku Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, Amir merupakan putra bungsu dari Wakil Sultan Tengku Muhammad Adil dan istri ketiganya, Tengku Mahjiwa.

Tengku Muhammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat.

Langkat merupakan salah satu kesultanan Melayu tertua di pesisir timur laut Sumatra. Sempat menjadi bagian dari Kesultanan Aceh sampai tahun-tahun awal abad ke-19, Langkat menjalin perjanjian dengan pemerintah kolonial pada 1869.

Hampir dua dasawarsa kemudian, Belanda mengakui raja Langkat sebagai sultan. Raja pertama Langkat, Sultan Musa, memindahkan pusat kesultanan ke Tanjung Pura.

Amir mengambil nama kakeknya, Tengku Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan “Tengku Busu” (“tengku yang bungsu”).

Amir menempuh sekolah dasar di Langkatsche School pada 1918. Ia lulus tahun 1924, tetapi ia tidak langsung melanjutkan pendidikannya. Baru pada 1927, ia melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di Medan.

Dua tahun kemudian, Amir pergi ke Batavia untuk melanjutkan studinya. Sejak itu, mulailah ia malang melintang di Jawa, aktif dalam bidang pergerakan dan dunia sastra.

Menjadi aktivis pergerakan di Jawa

Di Batavia, Amir masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Saat itu, Amir sudah mulai terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatra.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatra, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Budi Utomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sanskerta, dan Arab.

Baca juga: Dokter Sutomo, Sang Pendiri Budi Utomo

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatra dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Umumnya pemuda berpendidikan kala itu lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, tetapi Amir bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu, sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda 1928.

Sewaktu di kelas 2 AMS, Amir ikut dalam kongres pendirian Indonesia Muda pada 31 Desember 1930 di Solo. Ia kemudian terpilih menjadi kepala Indonesia Muda cabang Surakarta. Meski tak sekeras Perhimpunan Indonesia (PI), yang anti Belanda, Indonesia Muda juga masuk dalam radar intelijen pemerintah kolonial (Tempo, 2018).

Dalam organisasi Indonesia Muda, Amir mempromosikan kesatuan suku-suku bangsa di Nusantara sebagai sebuah negara berdaulat. Ia menganjurkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan untuk menumbuhkan nasionalisme, baik dalam pidato maupun tulisan-tulisannya.

Setelah ibundanya meninggal pada 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar, untuk mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat.

Pada 1932, Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum). Sambil menempuh pendidikan, ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.

Di Batavia, Amir semakin aktif dalam organisasi pergerakan. Ia menjabat sebagai Sekretaris Pusat Indonesia Muda. Amir juga sering berdiskusi dengan para pemuda di Indonesische Clubgebouw (Rumah Pekumpulan Indonesia) di Gedung Kramat 106. Gedung itu merupakan tempat para pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada 1928.

Pada pertengahan 1933, Amir dipanggil kembali ke Langkat. Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin dan meninggalkan dunia pergerakan.

Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir.

Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengku Puteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya. Sebelum pernikahannya, Amir sempat kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya.

Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir, Amir diberi gelar Tengku Pangeran Indra Putera. Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Pada 1939, pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, yang bernama Tengku Tahura.

Aktif dalam dunia dunia sastra dan memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia

Hidup dalam lingkungan istana Melayu, Amir sudah mengenal sastra sejak dini. Ia menggemari beragam tulisan Melayu tradisional, dan mendengarkannya ketika dibacakan dalam upacara. Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca banyak karya sastra dari beragam negara.

Pada 1933, Amir turut mendirikan majalah Pujangga Baru bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Terbitnya majalah tersebut menandai lahirnya Angkatan Pujangga Baru.

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku. Sebagian besar karyanya diterbitkan dalam majalah Pujangga Baru.

Salah satu hal yang menonjol dalam karya-karya Amir adalah penggunaan bahasa Melayu secara konsisten. Amir tampaknya secara gigih mengamalkan hasil dari Sumpah Pemuda 1928, meski ada tekanan dari pihak pemerintah kolonial untuk menekan perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Sebagai penyair, Amir turut berjasa dalam mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Chairil Anwar yang dikenal kritis terhadap sastrawan angkatan sebelumnya, bahkan kagum pada Amir Hamzah.

Menurut Chairil, karya-karya Amir, terutama yang dikumpulkan dalam buku sajak Nyanyi Sunyi, telah memberi gaya baru pada bahasa Indonesia dengan kata-kata yang kemas, ganas, tajam, dan lagi pendek.

“Susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru,” tulis Chairil dalam Hoppla! (Tempo, 2018).

Baca juga: Jejak Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di Kepulauan Nusantara

Akhir hidup yang tragis

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir.

Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra. Pada 29 Oktober 1945, Hasan memilih Amir Hamzah sebagai Asisten Residen Langkat. Tugas itu diterima Amir dengan siap sedia.

Selama menjabat sebagai asisten residen, Amir memilih berkantor di Gedung Kerapatan Kesultanan Langkat di Binjai. Ia menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama Tentara Keamanan Rakyat, membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan.

Namun, Amir tidaklah lama menjabat sebagai asisten residen Langkat. Hanya 4 bulan setelah menjabat sebagai wakil pemerintah Indonesia di Langkat, revolusi sosial meledak di wilayah Sumatra Timur.

Menjadi bagian dari keluarga Kesultanan Langkat yang dianggap mendukung Belanda, Amir dicap sebagai penghianat dan menjadi korban dalam huru-hara itu.

Pada 20 Maret 1946, Amir meninggal di tangan sekelompok pemuda yang ingin bebas sepenuhnya dari kolonialisme. Suatu hal yang juga ia perjuangkan sejak belia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.