Situs Lambanapu, Kubur Purba di Sumba Timur

2087
Situs Lambanapu
Foto: Heinrich Dengi

1001indonesia.net – Masyarakat Nusantara terbentuk dari perpaduan beragam ras dan budaya. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan terhadap Situs Lambanapu. Makam prasejarah di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur itu mengungkapkan bahwa leluhur orang Sumba merupakan campuran dua ras leluhur masyarakat Nusantara, yaitu mongoloid dan australomelanesid.

Temuan dari penelitian fisik yang dilakukan pada kerangka yang ditemukan dalam kubur kuno tersebut sesuai dengan cerita rakyat dan studi genetika di Sumba. Dalam cerita rakyat, dikisahkan bahwa leluhur masyarakat Sumba berasal dari Flores yang menyeberang ke Sumba melalui Tanjung Sasar.

Mereka kemudian tinggal di Desa Wunga di Sumba Timur. Dari tempat tersebut, mereka kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sumba dan berkembang sampai sekarang. Wunga sendiri Wunga berasal dari kata kawunga, yang berarti asal. Sampai sekarang, desa yang terletak di Kecamatan Haharu, Sumba Timur, ini dipercaya sebagai kampung asal orang Sumba.

Cerita lisan yang dituturkan turun-menurun itu ternyata sesuai dengan karakter fisik kerangka-kerangka manusia di Situs Lambanapu. Kerangka tersebut berciri ras Mongoloid yang bercampur dengan ras Australomelanesid.

Data sementara tersebut sesuai dengan hasil analisis DNA yang dilakukan lembaga Eijkman terhadap populasi Sumba sekarang yang memperlihatkan campuran kedua ras tersebut, bahkan di antara Ras Monggoloid diperkirakan campuran kelompok penutur Austronesia dan Austroasiatik.

Dengan demikian, ras orang Sumba saat ini merupakan hasil percampuran genetika dari 3 haplogroup (kelompok motif genetik), yakni Austronesia, Papua, dan Asiatik. Keberadaan ketiga ras manusia tersebut di Nusantara berasal dari tiga gelombang migrasi yang datang ke Indonesia pada zaman prasejarah. Migrasi Papua dari Afrika di Nusantara 50.000 tahun lalu, Asiatik 20.000-10.000 tahun lalu, lalu penutur Austronesia 5.000 tahun lalu.

Keragaman genetika di Sumba juga diperkuat dengan adanya percampuran bahasa. Sekitar 35 persen bahasa Sumba merupakan bahasa Austronesia, sementara 65 persen sisanya merupakan bahasa non-Austronesia, yaitu Papua.

Situs Lambanapu yang hanya berjarak 10 km dari Waingapu itu diyakini dulunya merupakan hunian leluhur Sumba. Letaknya yang berada di lembah di sekitar daerah aliran Sungai Kambaniru sebelum bermuara ke laut merupakan lingkungan yang ideal bagi sebuah perkampungan.

Di situs tersebut telah ditemukan 44 kubur tempayan dan 41 kubur tanpa wadah. Kompleks kuburan tersebut diduga merupakan peninggalan manusia prasejarah sekitar 2.000 hingga 3.500-an tahun lalu. Puluhan kerangka manusia itu ditemukan pada kedalaman 40 sentimeter hingga 150 sentimeter di bawah permukaan tanah. Lokasi kuburan prasejarah berada belakang hunian warga di Desa Lambanapu.

Keberadaan sistem penguburan menggunakan tempayan dan tanpa tempayan menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Sumba sudah hidup maju. Ini terlihat dari adanya lapisan sosial masyarakat dilihat dari cara penguburan yang berbeda-beda.

Mereka yang dikubur di dalam tempayan diperkirakan merupakan tokoh terpandang sedangkan masyarakat biasa dikubur begitu saja dan tulang-belulangnya tidak dimasukkan dalam tempayan.

Penunjuk kelas sosial itu semakin terlihat dengan ditemukannya bekal-bekal kubur di dalam tempayan berupa manik-manik perhiasan, giwang, beliung, dan lulu amah. Yang disebut terakhir masih bisa kita temukan sampai saat ini sebagai kalung yang biasa digunakan sebagai belis atau mas kawin.

Yang menarik dari temuan bekal kubur adalah, ditemukannya perhiasan perunggu dan giwang logam yang tidak diproduksi di Sumba tetapi berasal dari Dongson, Vietnam yang berkembang sekitar 500 sebelum masehi hingga awal masehi.

Temuan ini menunjukkan bahwa leluhur Sumba telah berinteraksi dengan orang-orang luar. Perhiasan-perhiasan logam dari Dongson itu diperkirakan ditukarkan dengan hasil-hasil bumi dari Sumba, seperti kayu cendana dan gaharu yang banyak tumbuh di pulau ini.

Dengan demikian, keberadaan situs prasejarah ini menggambarkan bahwa sejak zaman dulu, pulau-pulau di Nusantara bukanlah kawasan yang terisolasi. Antara satu pulau dengan pulau lainnya saling terkoneksi. Hal tersebut mungkin karena kemampuan pelayaran yang dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia.

Nusantara merupakan kawasan yang terbuka. Beragam ras dari beragam daerah datang ke Nusantara membawa ciri khas dan kebudayaan masing-masing. Mereka  kemudian membaur dan menciptakan sebuah masyarakat yang beragam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.