1001indonesia.net – Diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO, Hutan Hujan Sumatra menjadi rumah bagi aneka jenis flora dan fauna yang unik di Sumatra, dan yang khas dari Indonesia. Orangutan Sumatra, Rafflesia Arnoldi yang merupakan bunga terbesar di dunia, Gajah Sumatra, dan Harimau Sumatra, semuanya merupakan spesies langka dan unik, sekaligus mendapat perlindungan dunia.
Pengakuan UNESCO atas Hutan Hujan Sumatra menyiratkan kenyataan bahwa Nusantara menjadi rumah bagi beragam jenis flora dan fauna endemik, rumah bagi budaya masyarakat hutan, dan sekaligus menjadi paru-paru dunia. Meliputi wilayah sekitar 2,5 juta hektare, Hutan Hujan Sumatra memberikan perlindungan bagi beberapa spesies penting.
Badak Sumatra. Badak ini hanya ada di Sumatra. Mempunyai ciri rambut yang banyak—lebih banyak dibandingkan dengan kerabat badak lain—bercula dua, dan berbadan lebih kecil. Badak Sumatra menyukai hutan lebat. Hewan ini juga memiliki sifat penyendiri dan penjelajah, menyukai buah, daun-daunan, ranting-ranting, dan kulit kayu.
Harimau Sumatra. Spesies harimau ini juga hanya hidup di Sumatra. Harimau ini berada di ambang kepunahan akibat perburuan, rusaknya habitat (atau konflik habitat dengan perambahan dan pemukiman). Riau menjadi provinsi yang mempunyai jumlah terbanyak dari harimau jenis ini.
Orangutan Sumatra. Spesies orangutan ini masih berkerabat dengan Orangutan Kalimantan. Orangutan Sumatra pun berada di tubir kepunahan.
Gajah Sumatra. Hewan ini masih dalam kerabat gajah Asia, dan sudah mendapatkan upaya perlindungan. Namun, karena wilayah habitatnya terancam dan adanya perburuan liar, Gajah Sumatra masih tetap berada di ambang kepunahan.
Rafflesia Arnoldii adalah padma atau bunga raksasa. Dijadikan simbol dari provinsi Bengkulu, bunga ini bersifat parasit, berukuran raksasa, berbau busuk, dan sangat bergantung pada kualitas hutan primer. Meski sudah dinyatakan sebagai bunga langka melalui Keputusan Presiden, namun pelestariannya masih sangat dibutuhkan di masa-masa mendatang.
Di Hutan Hujan Sumatra ini, ada beberapa taman nasional (yang terpisah), yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Taman Nasional Kerinci Seblat (mencakup provinsi Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, dan Bengkulu), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (mencakup 70%-nya di wilayah Tanggamus, Lampung, dan juga meliputi Bengkulu), Taman Nasional Bukit Duabelas (berada di dalam provinsi Jambi).
Menarik bahwa masyarakat yang hidup di Bukit Barisan telah lama menerapkan apa yang dikenal sebagai agroekologi, yaitu upaya pemanfaatan, pengolahan, dan budidaya pertanian dengan memperhatikan keselarasan dengan kondisi hutan. Bahkan dalam kasus di mana pertanian ini berskala menengah, kondisi ini tetap diperhatikan.
Suku Gayo di Aceh bagian tengah-selatan mempunyai pola pertanian dikelola dengan unit-unit perkerabatan. Suku Anak Dalam atau Suku Kubu atau Orang Rimba di Jambi merupakan pengembara hutan. Selain berburu dan meramu, upaya pengolahan secara sedenter dengan karet atau pertanian juga dilakukan.
Perkebunan kopi masyarakat, misalnya yang berkembang di Pagar Alam (Bengkulu-Sumatra Selatan) memanfaatkan kondisi hutan primer untuk mengembangkan perkebunan, dengan memperhitungkan kemampuan hutan menjaga kestabilan suhu dan kelembapan tropis.