1001indonesia.net – Menjelang akhir hidupnya, Soedjatmoko dipilih menjadi Rektor Universitas PBB (United Nations University) di Tokyo, tahun 1980–1987. Dipilihnya Soedjatmoko seperti memberikan pengakuan akan keempuan dalam bidang ilmu kemanusiaan, diplomasi, dan tata internasional.
George McT. Kahin, pakar Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, menulis bahwa Soedjatmoko adalah seorang intelektual terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Ia diketahui sangat kritis terhadap pemerintahan Sukarno dan menjadi sosok yang cukup diperhitungkan kala Orde Baru berkuasa. Ia dikenal luas sebagai politisi, analis sosial, penulis, diplomat berpengaruh dan mengembangkan studi tentang sejarah Indonesia yang merujuk pada kearifan lokal bangsanya sendiri.
Tokoh bernama lengkap Soedjatmoko Mangoendiningrat ini lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 10 Januari 1922, pada saat ayahnya Saleh Mangoendiningrat, bertugas di Kota Tambang itu. Saleh berasal dari Madiun dan berprofesi sebagai dokter di rumah sakit Hindia Belanda.
Sementara ibunya, Isnadikin, berasal dari Ponorogo. Meski terlahir dari keluarga ningrat, Koko, begitu ia biasa disapa, dibesarkan oleh gagasan bahwa manusia harus berusaha untuk meraih kebebasan. Inilah pelajaran penting yang diterima dari ayahnya salah seorang paling berpengaruh pada hidupnya.
Saat Indonesia merdeka, Koko yang kala itu berusia 23 tahun, ditugaskan sebagai Kepala Deputi Hubungan Luar Negeri Kementerian Penerangan, di bawah Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin.
Setahun kemudian, ia diminta Perdana Menteri Sjahrir menjadi editor kepala sebuah majalah mingguan berbahasa Belanda, Het Inzicht, yang diterbitkan untuk memelihara saluran komunikasi antara Pemerintah Revolusioner dengan Belanda.
Ia lalu menerbitkan jurnal sosialis, Siasat, yang dimaksudkan sebagai wadah opini kritis dan bebas bagi kaum cendekiawan yang memiliki komitmen terhadap revolusi. Tak lama setelah itu, ia lalu menjadi editor harian Pedoman.
Pada 1947, Sjahrir mempercayakan tugas diplomatik kepadanya. Ia pun pergi ke Amerika Serikat guna mengajukan perspektif Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah serangan Belanda ke bumi pertiwi. Kesempatan itu ia gunakan untuk membangun misi-misi diplomatik pertama dengan PBB, Amerika Serikat dan Inggris Raya. Tugas itu pun berhasil ia jalani.
Pergaulannya dengan komunitas internasional membuat Duta Besar untuk Amerika Serikat (1968–1971) itu dikenal luas sebagai diplomat, analis sosial, dan cendekiawan yang memiliki perspektif baru tentang Indonesia dan Dunia Ketiga.
Ia pun kerap diminta mengisi seminar-seminar di luar negeri dan menulis di jurnal internasional. Kesempatan itu ia gunakan untuk menyuarakan tentang semangat kebangsaan, pembangunan berkeadilan, kebebasan manusia serta cita-cita akan masa depan dunia yang lebih baik.
Sepanjang karier intelektualnya, Soedjatmoko pernah menjadi Dosen Tamu Sejarah dan Politik Asia Tenggara di Universitas Cornell, AS; Gubernur Asian Institute of Management; dan Gubernur International Development Research Centre.
Ia juga menulis sejumlah artikel di beberapa jurnal internasional. Isu-isu mulai dari ekonomi, sosial, filsafat, kebudayaan hingga politik, menjadi perhatian utama suami Ratmini Gandasubrata itu. Beberapa karya yang diterbitkan antara lain The Re-Emergence of Southeast Asia: An Indonesian Perspective (1969), Development and Freedom (1980), dan The Primacy of Freedom in Development (1985).
Karena kontribusinya itu, Soedjatmoko kerap dimintai pertimbangan oleh berbagai lembaga internasional. Misalnya menjadi Independent Commission on Disarmament and Security Issues yang dikepalai oleh Olof Palme; Independent Commission on International Humanitarian Issues yang dipimpin oleh Pangeran Saddrudin Aga Khan dan Putra Mahkota Hassan bin Talal; Williamsburg Group yang diketuai oleh David Rockefeller, dan juri Penghargaan Aga Khan bagi Arsitektur Islam.
Ia adalah orang pertama dari Dunia Ketiga yang duduk di jajaran Dewan Pembina Ford Foundation.
Pada 1978, ia dianugerahi Ramon Magsaysay Award for International Understanding, suatu penghargaan yang kerap disebut sebagai “Hadiah Nobel Asia.” Dua tahun setelah itu, sejak 1980–1987, Soedjatmoko ditunjuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi Rektor Universitas PBB menggantikan James M. Hester yang menjadi rektor pertama di universitas itu.
Jika membaca tulisan-tulisan Soedjatmoko akan terlihat kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuannya. Di setiap pembahasan, pembaca akan mendapatkan kesan erudisi dari seorang yang luas bacaannya serta mendalam perenungannya tentang berbagai masalah yang mendera dunia; kesan kegelisahan seorang cendekiawan Dunia Ketiga yang senantiasa ingin menjelajahi batas-batas kemampuan manusia dalam mendudukkan kemandiriannya, dan kesan ketulusan seorang pemikir yang ikhlas membagi hasil perenungannya kepada siapa pun.
Dari berbagai perenungan itu, Soedjatmoko sampai pada kesimpulan bahwa jawaban atas persoalan-persoalan Indonesia tidak terbatas pada pilihan antara kapitalisme atau komunisme. Ia justru menekankan perlunya membuang ikatan dogmatisme ideologi seraya berusaha mencari jawaban-jawaban khas Indonesia yang mengakar pada kemampuan kreatif asli Indonesia.
Ia meyakini bahwa inti kemerdekaan dan kebebasan Indonesia terletak pada kemungkinan maupun keharusan untuk terus meresapi, memahami dan melakukan penciptaan kembali masa silam dan budaya tradisionalnya sendiri.
Karena itu, ia menyerukan perubahan paradigma tentang pembangunan yang kerap dimaknai sebagai semata-mata pembangunan ekonomi belaka. Bagi Soedjatmoko, pembangunan bukan hanya soal itu, melainkan harus memperhitungkan aspek sosial dan budaya. Begitu pun dengan agama, ia tidak harus dihayati secara terkotak-kotak parokial tetapi sebagai penghayatan pengalaman religiusitas yang kaya dan senantiasa menyediakan dirinya untuk berdialog dengan kepercayaan lain dan tanggap akan perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat.
Dari pemikiran ini, tampak jelas bahwa aspek sosial dan budaya memiliki tempat utama dalam gagasan Soedjatmoko. Perspektif ini telah ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil dengan menyodorinya karya-karya filsafat, seni, sejarah dunia, perkembangan ilmu pengetahuan, dan sastra klasik yang berjajar di rak perpustakaan rumah.
Di deretan lemari buku itu berjajar karya-karya pemikir besar seperti Hegel, Marx, Nietzsche, Krishnamurti, Gandhi, Vivekanada, dan Ramakrisna. Selain sang ayah, ada Ratmini Gandasubrata yang dinikahi pada 1957, sosok yang berhasil mempertajam perspektif humanisme Soedjatmoko.
Itulah Soedjatmoko. Sosok yang konsisten menentang feodalisme, dan segala hal yang terkait dengan itu, karena dinilai bertentangan serta dapat menghambat kebebasan manusia. Buktinya, setelah tahun 1947-an, ia pun menanggalkannya nama “Mangoendiningrat” yang tersemat di belakang namanya, karena ia anggap berbau “keningratan.” Langkah ini merupakan implikasi dari pemikirannya dan semangat revolusi yang menentang penindasan dan mengusung kebebasan di atas segalanya.
Hingga akhir hayatnya, Soedjatmoko terus berkelana mencari kebajikan dan membagi pengetahuan yang dimiliki kepada siapa pun. Ia meninggal pada 21 Desember 1989 akibat serangan jantung saat mengisi kuliah di Universitas Islam Muhammadiyah, Yogyakarta.
Sosoknya saat ini sangat dibutuhkan sebagai salah satu teladan kaum intelektual Indonesia yang tengah berhadapan dengan pragmatisme intelektualitas. Sosok cendekiawan yang selalu gelisah akan nasib bangsanya, yang ingin berbakti bukan dengan menyanjung, mendominasi, atau memperluas kekuasaannya, melainkan dengan mendekatkannya pada sosok pribadi bangsa yang sebenarnya.