1001indonesia.net – Pancasila merupakan dasar bagi bangunan Indonesia merdeka. Sukarno menyebutnya sebagai philosofische gronslag.
Yang dimaksud philosofische gronslag adalah “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Dalam pidato 1 Juni 1945 di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengenai dasar negara, ia mengajukan lima dasar negara.
Yang pertama prinsip kebangsaan, yang kedua peri-kemanusiaan, yang ketiga mufakat (demokrasi), yang keempat kesejahteraan sosial, dan yang kelima ketuhanan.
Lima prinsip ini kemudian dirumuskan ulang menjadi rumusan yang dikenal saat ini, yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa; yang kedua kemanusiaan yang adil dan beradab; ketiga persatuan Indonesia; keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan kelima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Sukarno, dasar-dasar itu bukanlah sesuatu yang datang dari ruang entah berantah, melainkan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian, prinsip-prinsip itu sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia.
Dalam merumuskan dasar negara, ada dua hal yang harus diandaikan. Pertama, bahwa prinsip-prinsip ini harus dapat mempersatukan. Dengan demikian, dasar negara yang dibangun tidak memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
Dan yang kedua, dasar-dasar itu harus memberikan arah bagi perikehidupan berbangsa dan bernegara. Sukarno menyebut pengandaian ini sebagai Leitstar atau bintang yang memandu kehidupan bangsa Indonesia.
Dengan pengandaian itu, Pancasila dapat kita lihat sebagai alat pemersatu dan juga bintang pemandu arah kehidupan berbangsa sekaligus. Prinsip-prinsip yang ada dalamnya merupakan titik temu atau overlapping consensus dari berbagai pandangan yang ada.
Konsep kebangsaan Indonesia tidak didasarkan pada kekuasaan kelompok mayoritas agama atau suku yang ada di Indonesia. Negara ini tidak diperuntukkan bagi kelompok agama tertentu atau untuk para bangsawan.
Negara ini dibangun untuk melindungi seluruh warga negara tanpa peduli latar belakang agama, suku dan status sosialnya. Penegasan itu dikatakan oleh Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945:
“Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? [A]pakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi ‘semua buat semua’.”
Negara yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukanlah negara milik satu golongan mayoritas, kelompok bangsawan atau kelompok masyarakat paling kaya. Negara yang dicita-citakan adalah negara yang berdiri untuk semua kelompok dalam masyarakat.
Bahkan dalam satu diskusi di sidang BPUPK, Bung Karno menegaskan bahwa negara ini bukan milik kelompok proletariat sebagaimana yang ada di Uni Soviet. Dengan demikian, upaya para pendiri bangsa untuk melahirkan sebuah negara yang mengayomi semua warga negaranya dapat dikatakan sebuah kemajuan yang luar biasa, mengingat di beberapa negara yang merdeka saat itu cenderung menjadikan satu kelompok etnis atau agama sebagai basis pendirian negara tersebut.
Sementara sebagai fungsi pemandu arah, Sukarno selalu menegaskan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Yang dimaksud dengan kehidupan lebih baik adalah adanya kemerdekaan politik dan juga kesejahteraan sosial.
Di dalam kemerdekaan politik, bangsa Indonesia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, sementara melalui kesejahteraan sosial, masyarakat Indonesia dapat hidup sesuai dengan standar kemanusiaan.
Di dalam Indonesia merdeka, para pendiri bangsa membayangkan tidak ada lagi orang miskin. Negara yang merdeka nanti adalah negara yang berupaya secara sungguh-sungguh menyejahterakan rakyatnya. (ed)