1001indonesia.net – Malahayati adalah laksamana wanita pertama di Nusantara, bahkan mungkin yang pertama di dunia modern. Di bawah kepemimpinannya, armada yang dimiliki Kesultanan Aceh termasuk yang kuat di kawasan Asia Tenggara (Solichin Salam, 1995).
Bernama lengkap Keumalahayati. Wanita yang lahir tahun 1560 ini terkenal sebagai sosok perempuan yang kuat, tangguh, dan juga cerdas (Adi Pewara, 1991). Sejak usia dini, ia telah belajar berbagai macam bidang ilmu dalam agama Islam. Dia juga menguasai berbagai macam bahasa. Selain bahasa Arab, Melayu, dan Aceh, ia menguasai bahasa Prancis, Spanyol, dan Inggris.
Sebelumnya, ayahnya yang bernama Mahmud Syah dan kakeknya yang bernama Muhammad Said Syah juga menjabat sebagai laksamana. Jiwa bahari yang dimiliki leluhurnya itu, ia warisi. Di tambah lagi, sejak kecil ayahnya sering mengajaknya ke pelabuhan untuk melihat-lihat kapal dagang dan kapal perang Kesultanan Aceh. Hal ini semakin menambah kecintaannya kepada laut. Oleh karena itu, ia juga ingin menjadi pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya.
Terlahir sebagai perempuan tidak menghalangi dirinya untuk menggapai cita-citanya. Untuk itu, ia mengikuti pendidikan militer di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Di akademi inilah, konon ia bertemu dengan seorang pemuda yang nantinya menjadi suaminya.
Di antara instrukturnya, terdapat 100 perwira Turki yang sengaja dikirim untuk membina angkatan perang Aceh. Saat itu, Kesultanan Aceh memiliki hubungan dengan Kesultanan Turki.
Selama di akademi, prestasi Malahayati menonjol. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan pendidikan, ia diangkat sebagai Kepala Protokol Istana Darud Dunya.
Kisah kepahlawanannya bermula saat Kesultanan Aceh yang dipimpin langsung oleh Sultan Al Mukammil berperang melawan Portugis di Teluk Haru (Selat Malaka). Meski menang dalam perang tersebut, Kesultanan Aceh kehilangan 2 laksamana dan 1000 pasukannya. Satu dari 2 laksamana yang gugur adalah suami Malahayati. Geram atas peristiwa tersebut, ia bertekad untuk terus memerangi Portugis.
Malahayati kemudian mengajukan permohonan untuk membentuk pasukan yang terdiri atas para janda dari prajurit yang gugur. Permohonannya dikabulkan oleh sultan. Ia kemudian diangkat menjadi laksamana untuk memimpin armada para janda (Inong Balee) tersebut.
Awalnya jumlah pasukan Inong Balee sekitar 1000 orang, tapi kemudian bertambah besar menjadi 2000 orang. Armada ini memiliki 100 kapal. Setiap kapal dilengkapi dengan meriam dan lila (meriam kecil yang terbuat dari tembaga). Kapal yang terbesar dilengkapi dengan 5 meriam dan mampu memuat 400 sampai 500 orang.
Saat itu, armada yang dipimpin oleh Malahayati ini termasuk armada yang terbilang kuat di Selat Malaka, bahkan mungkin di Asia Tenggara.
Peristiwa besar yang menggambarkan keberaniannya adalah saat ia dan pasukannya menyerbu kapal Belanda. Di geladak kapal, ia bertarung satu lawan satu melawan penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman. Dengan bersenjatakan rencong, Laksamana Malahayati memenangkan pertarungan tersebut.
Selain sebagai Laksamana yang tangguh, Malahayati dikenal juga sebagai seorang diplomat dan perunding yang ulung. Beberapa kali ia dipercaya sebagai juru runding mewakili kerajaannya dengan pihak-pihak asing, seperti Inggris dan Belanda. Sebagai seorang juru runding, ia mampu bersikap luwes, meski tetap kukuh memegang prinsip. Itulah yang membuat ia sangat dihargai oleh lawan rundingnya.
Atas prestasinya, namanya diabadikan dalam berbagai hal. Di antaranya sebagai nama pelabuhan (Pelabuhan Malahayati di Teluk Kreung Raya, Aceh Besar), nama universitas (Universitas Malahayati di Bandar Lampung), dan nama sebuah kapal perang (KRI Malahayati).
* Artikel ini telah diperbaiki karena ada beberapa ketidaktelitian yang dilakukan penulis. Secara pribadi, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya pada Pak Irawan Djoko Nugroho atas beberapa koreksi yang dilakukannya demi kejernihan pemahaman kita atas tokoh hebat ini.