Tulude, Upacara Tahunan Masyarakat Etnis Sangihe dan Talaud

1663
Upacara Adat Tulude
Upacara Adat Tulude (Foto: Misteraladin.com)

1001indonesia.net – Tulude merupakan upacara adat tahunan yang digelar oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud. Kedua etnis tersebut tinggal di gugusan kepulauan yang terletak di ujung utara provinsi Sulawesi Utara, dan dikenal dengan nama Nusa Utara.

Upacara adat Tulude ini digelar setahun sekali, tepatnya pada tanggal 31 Januari. Saat ini, masyarakat setempat mengadakan upacara adat ini sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas berkat yang diberikan.

Secara harafiah, istilah Tulude berarti meluncurkan atau melepaskan sesuatu hingga meluncur ke bawah dari ketinggian. Kata ini kemudian mengalami perluasan makna menjadi melepaskan, meluncurkan, menolak, atau mendorong. Dalam hal ini, Tulude berarti melepaskan tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru.

Beberapa abad silam, upacara adat Tulude dilaksanakan pada setiap tanggal 31 Desember atau di penghujung tahun. Pada abad ke-19, ketika Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud, upacara kemudiaan diisi dengan muatan agama.

Hari pelaksanaannya pun mulai bergeser. Jika awalnya dilaksanakan pada tanggal 31 Desember, upacara adat ini kemudian dialihkan ke tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya.

Bagi masyarakat Sangihe yang sebagian besar menganut Kristen, tanggal 31 Desember dinilai terlalu berdekatan dengan perayaan Natal. Selain itu, umat Kristen juga disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru.

Pada 1995, pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud menetapkan tanggal 31 Januari sebagai hari jadi Sangihe-Talaud dengan upacara Tulude sebagai inti acara. Sampai saat ini, upacara warisan leluhur leluhur masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro) masih terjaga dengan baik.

Pelaksanaan upacara

Upacara adat ini digelar dalam beberapa tahapan. Dua minggu sebelum pelaksanaan upacara, digelar ritual penyelaman. Seorang tetua adat menyelam ke dalam lorong bawah laut di Gunung Banua Wuhu. Ia membawa sepiring nasi putih dan emas untuk dipersembahkan kepada Banua Wuhu yang bersemayam di lorong tersebut.

Sehari sebelum pelaksanaan upacara, dibuatlah kue tamo di rumah salah seorang tetua adat. Kue tamo dibuat dari beras ketan, gula merah, minyak kelapa, bubuk kayu manis, pepaya, kelapa muda, dan pisang raja.

Beberapa hal lain yang perlu dipersiapkan, yakni pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer, dan kelompok nyanyi masamper.

Persiapan juga mencakup penetapan siapa saja tokoh adat yang akan bertugas untuk memotong kue adat tamo, membawakan ucapan Tatahulending Banua, membawakan ucapan doa keselamatan, dan memimpin upacara yang disebut Mayore Labo.

Dipersiapkan pula kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara, seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (istri pemimpin negeri).

Selain itu, undangan disebar ke seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).

Upacara adat Tulude dilaksanakan sore hingga malam hari selama kurang lebih 4 jam. Prosesinya dimulai dari penjemputan kue tamo untuk selanjutnya diarak keliling kota. Selama perarakan, penonton dihibur dengan penampilan tarian tradisional dan kelompok musik.

Kue tamo yang diarak akan disambut di tempat pelaksanaan Tulude. Selanjutnya, kue akan dipotong dan dilanjutkan dengan pesta rakyat sebagai prosesi akhir. Pada pesta rakyat, warga dapat menyantap beragam kudapan yang mereka bawa sendiri.

Baca juga: Tari Maengket, Ungkap Syukur Masyarakat Minahasa Atas Hasil Panen

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + 13 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.