1001indonesia.net – Etnis Tionghoa yang menetap di Bagansiapiapi, Riau, setiap tahun mengadakan ritual Bakar Tongkang. Ritual yang sudah diadakan sejak dulu itu merupakan perwujudan dari tekad leluhur mereka untuk tidak kembali ke tempat asal. Upacara itu juga diadakan sebagai penghormatan terhadap dewa laut Kie Ong Ya dan Tai Su Ong.
Ritual Bakar Tongkang bermula saat sekelompok orang Tionghoa menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka kemudian pergi merantau menyeberangi laut menggunakan kapal kayu sederhana.
Suatu ketika, mereka kebingungan karena kehilangan arah. Mereka lantas berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya agar dapat diberikan penuntun arah menuju daratan. Mereka kemudian melihat adanya cahaya yang menjadi petunjuk perantau yang berjumlah 18 orang itu ke daratan di Selat Malaka.
Konon, cahaya yang dilihat para perantau itu berasal dari kunang-kunang di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Dari peristiwa itu, para perantau menyebut daratan tersebut dengan nama Baganapi yang kini dikenal sebagai Bagansiapiapi.
Kedelapan belas perantau yang semuanya bermarga Ang itulah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Tidak heran jika mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini bermarga Ang atau Hong.
Para perantau itu merasa senang dengan daerah yang baru mereka datangi. Ikan lautnya banyak sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka kemudian memutuskan untuk menetap.
Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar tongkang yang tumpangi dari Tiongkok. Mereka juga memberikan persembahan atau sesaji kepada dewa laut.
Sebagai informasi, Bagansiapiapi memiliki pelabuhan besar. Pada era 1900–1956, Pelabuhan Bagansiapiapi merupakan pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dunia. Posisinya sangat strategis, berada tepat di muka Selat Malaka. Hasil lautnya juga sangat melimpah.
Pelabuhan Bagansiapiapi mencapai kejayaan pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada 1930. Saat itu, produksi ikan yang dihasilkannya mencapai 300.000 ton per tahun yang membuatnya menjadi pelabuhan dengan produksi ikan terbanyak dan teramai kedua di dunia setelah Norwegia.
Kini Bagansiapiapi memang tidak seramai dulu. Meski demikian, kenangan akan masa kejayaan tersebut masih dirasakan masyarakat di sana, terutama dengan hadirnya Museum Ikan Bagansiapiapi.
Baca juga: Museum Ikan Bagansiapiapi, Kenangan Atas Kejayaan Perikanan
Ritual Bakar Tongkang sendiri pernah dilarang pada masa Orde Baru. Tradisi tersebut mulai dilaksanakan kembali pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Ritual itu juga dikenal dengan nama Go Gek Cap Lak dalam bahasa Hokkien. Go berarti ke-5 dan Cap Lak yang berarti ke-16. Dengan demikian, ritual tersebut dirayakan setiap tahun pada hari ke-16 bulan ke-5 menurut kalender China.
Saat ini, ritual membakar replika kapal tradisional Tiongkok itu menjadi acara tahunan. Kegiatan itu menjadi puncak acara dari Festival Bakar Tongkang yang ditujukan untuk memperingati kedatangan leluhur masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi.
Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir kemudian menjadikan ajang tersebut sebagai sarana pariwisata. Festival yang menjadi ajang tahunan terbesar di Kabupaten Rokan Hilir itu menyedot banyak wisatawan, baik lokal maupun asing.