1001indonesiua.net – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki catatan panjang dalam mengelola kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama. Provinsi berpenghuni sekitar 3,5 juta jiwa itu sejak lama telah ditinggali warga dengan latar agama, keyakinan dan etnis beragam. Berbagai situs peninggalan dari masa lalu pun menjadi saksi bisu betapa kayanya warisan masa silam, baik dari sisi budaya, kebiasaan, agama, dan keyakinan.
Meski demikian, Yogyakarta bukanlah daerah yang benar-benar bebas dari gangguan konflik dan ancaman perpecahan. Aneka konflik berlatar belakang isu keagamaan memang sempat muncul hingga sempat mengganggu keharmonisan hidup di wilayah itu. Namun, pengalaman panjang hidup berdampingan segera dapat mengatasi berbagai persoalan yang mengusik tersebut.
Bahkan, kepiawaian warga dan aparat Pemerintah Kota Yogyakarta—salah satu daerah dalam DIY Yogyakarta—dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan kehidupan sehari-hari membuat Kota Gudeg itu dijuluki sebagai Kota Toleran (City of Tolerance).
Penyematan City of Tolerance oleh Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (Aji Damai) pada Maret 2011 itu bukan tanpa alasan. Yogyakarta dianggap sebagai jantung kebudayaan Jawa yang dikenal sebagai kota yang setia menjaga nilai dan tradisi budaya Jawa.
Salah satu nilai pokok yang menjadi pegangan hidup dan etika masyarakat Yogyakarta adalah hidup rukun, saling menghormati dan penuh tenggang rasa atau toleran. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan. Inilah yang menjadi alasannya.
Namun, berbagai catatan kelam terus-menerus menggerus kerukunan dan keharmonisan yang berlangsung di daerah ini. Merujuk catatan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), sepanjang tahun 2015 hingga Maret 2016, aneka kasus intoleransi muncul bergantian.
Misalnya, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen padahal kedua rumah ibadah tersebut telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB); penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunungkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman; intimidasi dan kekerasan terhadap kegiatan diskusi tentang Syiah; intimidasi terhadap LGBT; dan pembubaran diskusi lintas agama.
Contoh lain yang bisa disebut yakni penutupan pondok pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan. Tindakan intoleran yang terjadi sejak 2011 terus berlangsung hingga pertengahan 2016 dengan angka peningkatan yang cukup mengkhawatirkan. Pada 2015 lalu, ANBTI mencatat sekitar 13 kasus intoleransi terjadi di DIY.
Berbagai kalangan mengkhawatirkan meningkatnya angka kekerasan lantaran tidak ada tindakan tegas dari aparat pemerintah daerah.
Penelitian lain datang dari The Wahid Institute. Dari data yang dirilis pada tahun 2014, Yogyakarta menempati urutan kedua sebagai kota paling tidak toleran di Indonesia. Dari total 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dicatat Wahid Foundation sepanjang tahun 2014, 21 peristiwa terjadi di Yogyakarta.
Setahun kemudian, 2015, peringkat Yogyakarta sebagai kota intoleran turun ke nomor empat. Dari 190 pelanggaran yang dicatat Wahid Institute, 10 terjadi di kota pelajar itu.
Dua riset memang tidak serta-merta mengubur predikat Kota Toleran yang dimiliki Yogyakarta, namun menjadi ujian serta pekerjaan rumah yang perlu dijawab secara serius oleh aparat pemerintahan dan segenap warga Daerah Istimewa Yogyakarta melalui tindakan nyata.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyebut sifat terbuka (inklusif) yang dimiliki segenap warga sebagaimana tersirat dalam budaya Jawa merupakan modal utama yang dimiliki masyarakat Yogyakarta untuk memperkuat demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Sri Sultan mendorong warganya untuk terus berupaya membangun Yogyakarta sebagai pelaku utama yang membentuk toleransi dengan dipayungi filosofi Jawa “hamemayu hayuning bawana” atau menjaga keseimbangan kehidupan dan keselarasan dunia.
Dalam arti lebih luas, Sultan mengajak seluruh komponen masyarakat untuk senantiasa merawat keseimbangan antara jagad kecil, mikrokosmos (manusia) dengan jagad besar/alam semesta. Keseimbangan ini diwujudkan dalam perilaku manusia yang senantiasa menjunjung tinggi etika dan kebenaran.
Atas dasar itu, menjadi penting untuk terus menanamkan nilai-nilai keragaman sejak dini, terutama terhadap generasi muda yang melek teknologi agar nilai keberagaman dapat didalami secara arif dan bijaksana.
Selain itu, perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas pun perlu dilakukan agar setiap warga negara memiliki rasa aman dan nyaman dalam menjalani hidup sehari-hari.
Pengalaman Toleransi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, DIY merupakan daerah yang sejak lama dikenal sebagai wilayah yang sangat baik dalam menjaga nilai-nilai keragaman dan toleransi di Indonesia. Keberagaman budaya dan agama DIY tetap menjadi acuan meski akhir-akhir ini sempat dirongrong oleh berbagai tindakan intoleran.
Pengalaman warga DIY dalam hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lain dengan latar belakang berbeda menjadi penopang utama keharmonisan dan kerukunan di DIY.
Pada era revolusi kemerdekaan di Yogyakarta, wilayah tersebut begitu terbuka sebagai wadah perjumpaan berbagai etnis dan agama, sipil dan militer.
Di Kota Perjuangan itu tokoh-tokoh bangsa dari berbagai latar agama, etnis, dan pandangan politik berbeda berkumpul dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan. Ada Sukarno, Ali Sadikin, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Muhammad Yusuf, Mr. Assat, dan A.R. Baswedan yang berasal dari etnis dan agama berbeda-beda.
Ada juga K.H. Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah), Mohammad Natsir (Persatuan Islam), Sayyid Shah Muhammad Al-Jaeni (Ahmadiyah), dan I.J. Kasimo (Katolik).
Merujuk pada pengalaman itu, agaknya para tokoh lintas iman dan etnis itu lebih mementingkan persatuan ketimbang perpecahan. Mereka lebih bersemangat bekerja bersama dan bahu membahu mewujudkan keindahan-keindahan daripada menciptakan keburukan.
Mereka mengerti dengan saksama peribahasa Jawa holopis kuntul baris yang secara luas bermakna bekerja bergotong royong dengan meredam ego dan kepentingan individual untuk kepentingan bersama yang lebih luas.
Contoh lainnya yaitu penemuan Candi Palgading di Sleman. Penemuan situs bersejarah di Desa Sinduharjo pada 2006 silam itu membuktikan fakta bahwa Nusantara di masa silam pernah mengalami masa kejayaan di mana umat beragama dapat hidup berdampingan dalam suasana yang rukun dan harmonis tanpa perasaan takut dan ancaman intimidasi dari pihak lain.
Secara administratif, Candi Palgading ini terletak di Dusun Palgading, Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Tepatnya sekitar dua kilometer arah timur Kantor Kecamatan Ngaglik. Kompleks Candi Palgading bercorak Buddha itu berada di tengah pemukiman penduduk dengan luas situs kira-kira 1 hektare.
Keharmonisan hubungan antarumat beragama terendus karena tak jauh dari lokasi itu terdapat Candi Kimpulan, dekat kampus Universitas Islam Indonesia, yang bercorak Hindu. Candi Kimpulan ini berhasil ditemukan secara tidak sengaja pada 11 Desember 2009.
Situs Palgading berasal dari masa kejayaan agama Hindu dan Buddha di Nusantara, tepatnya sejak abad ke-9 hingga 10 Masehi. Hal itu tampak dari struktur bebatuan yang membentuk stupa berukuran kecil. Lalu diperkuat pula dengan keberadaan arca Awalokiteshwara yang merupakan simbol penyembahan Boddhisatwa dalam agama Buddha serta dikenal pula sebagai dewa kasih sayang, dewa asih serta dewa penjaga dalam pantheon Buddha Mahayana.
Begitulah keharmonisan yang berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski sempat diterpa berbagai aksi intoleran beberapa waktu silam, hingga kini DIY masih dijadikan barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam mengelola keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama.
Label inilah yang harus terus dipertahankan agar muncul optimisme dalam masyarakat Yogyakarta—dan di Indonesia secara luas—bahwa kita mampu hidup berdampingan secara damai dalam situasi dan kondisi apa pun.
Tentu saja, hidup rukun dan harmonis bukan dalam arti adanya penyeragaman pikiran, tindakan dan kebiasaan sebagaimana yang kerap kali dipaksakan sekelompok kecil dalam masyarakat. Sebab, penyeragaman berpotensi melahirkan konflik dan gesekan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Namun, hidup rukun dan harmonis dalam makna saling mengerti dan saling menghargai antara teman dan tetangga, antara kampung dan kawasan serta antarsuku bangsa yang berbeda paham keagamaan dan keyakinan.
Kesemuanya sangat mungkin dilakukan karena telah membudaya menjadi kearifan lokal selama ratusan tahun.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.