1001indonesia.net – Berbeda dengan nilai yang dominan dipegang masyarakat Indonesia saat ini yang memandang gender secara biner dan heteroseksual sebagai sebuah keharusan, masyarakat Toraja di masa silam mengenal gender ketiga. Gender ini dimiliki oleh to burake atau orang burake.
To burake adalah seorang wanita berpakaian pria (burake tattiku) atau seorang pria berpakaian wanita (burake tambolang). Dulu, dalam masyarakat Toraja, to burake sangat disegani. Posisinya sebagai pendeta atau pemimpin spiritual. Ia memiliki peran kunci dalam pelaksanaan upacara adat.
Orang burake biasanya menjadi aktor kunci pada ritual adat terkait dengan pola bercocok tanam padi di sawah. Nasi adalah salah satu makanan pokok di Toraja selain ubi dan sagu (papeda).
Ritual di sawah biasanya dilakukan ketika memasuki masa tanam dan menjelang panen. Begitu panen tiba, warga yang sawahnya pernah dikunjungi orang burake, mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih dengan berbagi padi kepada orang burake yang melintas.
Sejak masuknya agama Kristen ke Toraja, peran orang burake terpinggirkan. Ritual-ritual lama dihilangkan, diganti dengan cara peribadatan yang baru. Itu sebabnya, meski gender ketiga atau transgender masih ada di Toraja, tetapi tidak ada lagi orang yang dinamakan to burake.
Baca juga: Bissu, Manusia Setengah Dewa dari Sulawesi Selatan