1001indonesia.net – Teater Gandrik adalah sebuah kelompok teater terkenal asal Yogyakarta. Awalnya, dibentuk oleh Bapak Kasiharto saat menjabat sebagai camat Mantrijeron pada 1982 untuk mengikuti Festival Seni Pertunjukan Populer yang diselenggarakan oleh Departemen Penerangan RI.
Di festival itu, Teater Gandrik mempergelarkan lakon “Kesandung” karya Fadjar Suharno dan “Meh” karya Heru Kesawa Murti. Melalui dua lakon tersebut, teater ini menjuarai kompetisi tersebut, baik di tingkat provinsi DIY maupun nasional.
Awalnya, kelompok teater ini tanpa nama. Nama Gandrik sendiri dilontarkan oleh Bapak Kasiharto yang karena keterkejutan dan rasa girangnya atas prestasi yang dicapai oleh kelompok teater bentukannya berucap, “Gandrik tenan iki koe cah,” (Mengejutkan sekali kalian ini). “Gandrik” memang sebuah idiom dalam tradisi Jawa untuk menyampaikan keterkejutan. Para anggota kemudian menyepakati “Gandrik” sebagai nama kelompok teater mereka.
Selain Bapak Kasiharto, orang yang paling berjasa dalam membentuk Teater Gandrik adalah Jujuk Prabowo, seorang seniman yang telah memiliki nama di Yogyakarta sebagai aktor dan sutradara di kelompok Teater Dinasti. Jujuk-lah yang dipercaya Camat Mantrijeron untuk mengumpulkan para aktor dan membentuk kelompok teater untuk mengikuti kompetisi.
Jujuk kemudian mengumpulkan beberapa aktor dari berbagai kelompok teater, di antaranya Heru Kesawa Murti (Teater Kerabat), Susilo Nugroho (Teater Kita-Kita), Sepnu Heryanto (Teater Gembala), Novi Budianto (Teater Dinasti), dan Saptaria Handayaningsih (Teater Dinasti). Di kemudian hari, teater ini diperkuat Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan, Rullyani Isifihana, dan Agus Noor.
Sebagian besar lakon yang dipentaskan oleh Teater Gandrik ditulis oleh Heru Kesawa Murti sebelum ia meninggal pada 2011. Lakon-lakon Teater Gandrik umumnya mengangkat kritik sosial dari sudut pandang rakyat kecil, terutama Jawa, dalam wujud teater modern. Gaya khas yang digunakan dalam mengungkapkan kritik sosial adalah guyon parikena yang akrab di dunia orang Jogja.
Dengan cara ini, Teater Gandrik mampu menyindir secara halus atau bahkan mengkritik orang lain dengan jalan mengejek diri sendiri. Metode mengkritik dengan cara gembira ini terbukti ampuh. Kelompok ini dapat mengkritik tanpa membuat yang dikritik merasa terganggu sehingga mereka cukup aman selama rezim Orde Baru berkuasa. Mereka bebas manggung dengan segala kreativitasnya tanpa dihinggapi perasaan takut akan dicekal oleh penguasa. Ini berbeda dengan Bengkel Teater Jogja yang dipimpin Rendra yang pementasannya sering dipersulit oleh pihak penguasa.
Model kritik guyon parikena dan semangat untuk mengolah bentuk-bentuk teater tradisional ke dalam bentuk pementasan teater modern menjadi dua hal penting yang menjadi orientasi estetis lakon-lakon Teater Gandrik. Itu sebabnya, Teater Gandrik kemudian disebut sebagai kelompok yang mengembangkan estetika sampakan.
Gaya sampakan mencapai puncaknya pada Teater Gandrik. Menurut Emha Ainun Nadjib, istilah sampakan berasal dari seniman oldcrack Kirdjomuljo yang menyebut Teater Gandrik sebagai “Teater Sampakan”. Sampak berasal dari bahasa Jawa sumpek-sampak-suwuk (Nadjib, 2015). Istilah sampak merujuk pada upaya untuk keluar dari kesumpekan.
Model sampakan Teater Gandrik adalah awal mula pelembagaan plesetan yang embrionya telah ada di lingkungan tempat kelahiran teater ini. Plesetan, bukan satire atau sarkasme, digunakan untuk menyajikan masalah yang sering kali tidak disimpulkan di akhir pertunjukan.
Cerita atau naskah berkembang dalam pementasan melalui improvisasi para pemain. Dialog, musik, dan tari digunakan untuk memaparkan masalah sosial terkini dengan seimbang antara kritik dan humor sehingga tercipta kedekatan dengan penonton.
Saat ini, aktivitas Teater Gandrik berpusat di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Lakon-lakon Teater Gandrik yang terkenal di antaranya Pensiunan dan Dhemit.
Sumber: