Tau-tau, Tradisi Pemakaman Unik dari Tana Toraja

6293
Tau-tau
Tau-tau merupakan patung kayu sebagai personifikasi orang yang meninggal dalam masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Foto: www.indonesia.travel)

1001indonesia.net – Tana Toraja memiliki ritual pemakaman yang unik dan bisa dibilang aneh bagi masyarakat pada umumnya. Jasad-jasad dimasukkan ke dalam peti mati yang ditempatkan dalam lubang kecil di tebing batu atau di gua. Apabila jasad berukuran kecil atau masih bayi, mereka akan ditempatkan di pohon-pohon.

Setelahnya, khususnya untuk kalangan bangsawan, akan dibuat patung kayu sebagai representasi orang yang meninggal yang disebut dengan tau-tau. Patung kayu tersebut ditempatkan di lokasi pemakaman.

Tradisi Pemakaman

Salah satu ciri khas dari masyarakat Nusantara adalah adanya penghormatan terhadap arwah leluhur. Pemujaan terhadap arwah leluhur menjadi bagian pokok dalam tradisi asli Nusantara. Penghormatan ini kemudian melahirkan berbagai upacara kematian yang unik. Tak terkecuali di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Suku Toraja memiliki tradisi pemakaman yang khas. Setidaknya terdapat tiga tempat pemakaman tradisional khas suku Toraja, yaitu kubur tebing batu Lemo, makam gua alam Londa, dan kuburan pohon.

Di ketiga tempat tersebut, kita bisa menyaksikan keunikan tradisi pemakaman suku Toraja. Jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan, tetapi diletakkan di celah-celah tebing batu. Untuk bayi, jenazah diletakkan di pohon tarra.

Kubur Batu Lemo

Kubur Batu di Desa Lemo, Tana Toraja (Foto: torajaparadise.com)
Kubur Batu di Desa Lemo, Tana Toraja (Foto: torajaparadise.com)

Di Desa Lemo, Kecamatan Makale Utara, terdapat tebing batu tinggi yang dijadikan sebagai tempat menyimpan jasad orang mati. Kuburan tradisional yang sudah berumur ratusan tahun ini dijadikan makam para kepala suku Toraja dan keluarganya. Dalam bahasa lokal, kubur di tebing ini dinamakan Liang Paa’.

Tinggi liang kuburan di tebing ini mencapai belasan meter dari permukaan tanah. Untuk memasukkan jasad ke dalam liang, tubuh diangkat menggunakan tangga atau ditarik dengan tali. Proses pembuatan liang termasuk lama dan sulit karena bukit batu itu harus dipahat dengan tangan. Tidak heran kalau pembuatan satu lubang bisa memakan waktu enam bulan sampai satu tahun.

Kubur Batu Lemo merupakan sebuah makam yang dibentuk secara khusus bagi bangsawan. Ada lebih dari 70 buah lubang batu kuno menempel di dindingnya. Di lubang tersebut juga disimpan patung kayu (tau-tau) sebagai representasi dari mereka yang sudah meninggal. Tidak semua orang Toraja bisa dibuatkan tau-tau, hanya kalangan bangsawan saja yang berhak dibuatkan tau-tau. Itu pun setelah memenuhi persyaratan adat.

Dalam satu liang kuburan berukuran 3 x 5 meter itu berisikan satu keluarga. Di beberapa tempat tampak peti-peti mati ditumpuk atau diatur sedemikian rupa sesuai garis keturunan atau keluarganya. Bagian depan lubang berfungsi untuk memasukkan jenazah, beberapa ada yang ditutupi pintu kayu berukir atau hanya penutup dari bambu.

Nama Lemo sendiri berarti jeruk. Nama itu diambil karena gua batu terbesarnya berbentuk bundar menyerupai buah jeruk. Lubang-lubang kuburannya seakan membentuk pori-pori buah jeruk. Menurut penuturan masyarakat setempat, kuburan tertua di tempat ini adalah seorang tetua adat bernama Songgi Patalo.

Makam Gua Londa

Gua alam Londa merupakan berada di sebuah tebing batu. Letaknya di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara. Lokasinya sekitar 7 kilometer arah selatan Kota Rantepao.

Pemakaman Tradisional Gua Londa di Tana Toraja (Foto: Kompas.com/Ronny Adolof Buol)
Pemakaman Tradisional Gua Londa di Tana Toraja (Foto: Kompas.com/Ronny Adolof Buol)

Erong atau peti mati diletakkan dalam urutan tertentu yang menunjukkan status sosial orang yang meninggal. Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi erong diletakkan.

Dulu, untuk menghindari binatang buas dan pencurian, erong diletakkan dengan cara digantung. Pasalnya, di dalam peti terdapat barang-barang berharga milik orang yang meninggal.

Beberapa tengkorak dan tulang belulang tampak diatur di celah-celah gua. Tengkorak dan tulang belulang itu jatuh saat erong rusak karena dimakan usia. Untuk memindahkan tengkorak dan tulang belulang juga tidak sembarang, harus dengan upacara adat dan atas seizin keluarga yang meninggal.

Upacara adat ini memakan biaya yang sangat besar karena harus menyembelih puluhan kerbau. Oleh karena itu, banyak tengkorak yang dibiarkan tergeletak di dasar gua. Gua makam alam Londa memiliki kedalaman hingga 1.000 meter.

Uniknya, meski jenazah diletakkan tanpa dikubur, tak ada bau mayat di kubur tradisional gua Londa ini.

Kuburan Pohon

Kuburan pohon dikhususkan untuk bayi yang meninggal, dengan syarat berusia di bawah 6 bulan dan belum tumbuh gigi susu, jalan serta masih menyusui.

Kuburan Pohon Khas Tana Toraja
Kuburan pohon di gunakan untuk memakamkan bayi oleh suku Toraja.

Pohon yang digunakan adalah pohon tarra. Berbeda dengan dua makam tradisional sebelumnya, yang penuh ukiran dan patung, lubang pada pohon ini hanya ditutup dengan ijuk.

Letak jasad bayi juga tergantung strata sosial orang tuanya. Anak bangsawan di posisi atas, sebaliknya masyarakat biasa di bagian bawah.

Pohon taraa’ sengaja dipilih sebagai tempat menguburkan bayi karena memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.

Tau-tau

Boneka kayu sebagai representasi orang yang meninggal inilah yang membuat tradisi pemakaman suku Toraja sangat unik dan khas. Patung kayu ini dipahat dengan detail. Tau-tau juga menjadi lambang kedudukan sosial, status, dan peran orang yang meninggal semasa hidup sebagai bangsawan setempat.

Pembuatan tau-tau ini membutuhkan persyaratan yang memakan biaya yang sangat mahal, yaitu harus menyembelih kerbau sebanyak 24 ekor. Badan patung ini terbuat dari kayu nangka. Sedangkan matanya terbuat dari tulang dan tanduk kerbau.

Terdapat filosofi di balik tau-tau yang posisi tangannya diatur sedemikian rupa: tangan kanan menghadap ke atas sedangkan tangan kiri menghadap ke bawah. Posisi tangan ini memiliki arti meminta dan memberkati, dan mencerminkan posisi antara yang hidup dan yang mati.

Manusia yang telah meninggal membutuhkan bantuan keturunannya yang masih hidup untuk mencapai surga (puya) melalui upacara adat, sedangkan yang hidup mengharapkan berkah dari yang mati untuk tetap menyertai kehidupan anak cucu mereka.

Bca juga: Waruga, Jejak Tradisi Pemakaman Minahasa di Masa Silam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.