1001indonesia.net – Sastra Parwa adalah suatu sastra yang merupakan rekaman terbaik sastra Sanskerta, yang terkait dengan epos Mahabharata. Mengamati sastra Parwa, dapat dilihat rekaman atas interaksi Nusantara dengan Peradaban India, yang kemudian diwujudkan dalam suatu susastra.
Sebagaimana I-Tsing singgah dan melakukan perekaman sejarah atas Sriwijaya, Sastra Parwa mencerminkan rekaman interaksi yang amat panjang dan luas antara sastra Sanskerta dengan Nusantara. Sedemikian rupa sehingga sastra Jawa Kuna memproduksi alfabet yang mandiri dan terpisah dari Sanskerta, namun sanggup mereproduksi bunyi dan simbol sastra Sanskerta.
Epos Mahabharata tampaknya telah mengurat nadi dalam alam pikir masyarakat Indonesia. Ada begitu banyak karya seni yang terinspirasi oleh epos Mahabharata. Pun dalam kehidupan sehari-hari, ada begitu banyak nama-nama orang Indonesia yang memakai tokoh-tokoh Mahabharata. Ini semua menunjukkan bahwa sampai berabad-abad lamanya kisah Mahabharata dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Di negeri asalnya, India, menurut Ch. Lessen, epos Mahabharata ditulis dalam bahasa Sanskerta kira-kira antara 400 tahun SM s.d 500 SM. Di Nusantara, epos Mahabharata pertama kali ditulis dalam bentuk prosa sehingga dikenal dengan Sastra Parwa.
Penulisan Sastra Parwa menunjukkan pengaruh kental India di Nusantara yang diperkirakan masuk pada abad ke 5 Masehi. Hal ini juga menunjukkan pengaruh India tidak hanya sebatas penyebaran agama, tapi pula pada aspek-aspek kebudayaan terutama bidang sastra.
Secara etimologis Sastra Parwa berasal dari kata sāstra yang dipungut dari bahasa Sanskerta, berarti pengetahuan atau tulisan indah. Sementara itu, parwa berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti cerita atau prosa.
Zoetmulder (1974: 80) mengemukakan bahwa Sastra Parwa adalah prosa yang diadaptasi dari epos berbahasa Sansekrta dan menunjukkan ketergantungan terhadap kutipan dari karya aslinya. Penggunaan kutipan sloka (bait) dari teks asli diduga berfungsi sebagai patokan (merkverzen) untuk mempertahankan hubungan dengan teks asli. Kita akan mudah mencari kembali seloka mana yang diambil dari teks asli.
Selain menggunakan kutipan, penyusun-pengarang sastra parwa tidak serta-merta menulis ulang epos Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno. Para penyusun-pengarang ini melakukan sebuah pengalihbahasaan entah secara harfiah maupun penerjemahan bebas yang dianggap sepadan dengan karya aslinya. Tujuan ini yang terungkap dalam kata pengantar Wirātaparwa,
“Mengalihkan yang terkandung dalam batin Byāsa ke dalam bahasa Jawa yang jelas (māngjawākĕn Byāsamata).
Dengan kata lain, “Menuturkan kembali apa yang dimaksud oleh Byāsa (Bhagawan Wyasa) dalam epos Mahabharata ke dalam bahasa Jawa yang mudah dipahami”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sifat utama Sastra Parwa adalah kejernihan, kesederhanaan, juga kesetiaan pada teks asli (Zoetmulder: 1974).
Sastra Parwa ditulis oleh penyusun-pengarang Jawa dalam bahasa Jawa Kuno pada sekitar abad ke-10. Informasi ini didapat berdasarkan penelusuran terhadap keterangan dalam naskah Wirātaparwa yang ditulis pada 10 Oktober–12 November tahun 996 (Zoetmulder, 1974).
Sementara itu, tidak ditemukan keterangan waktu penulisan dalam manuskrip yang lain. Namun, Zoetmulder (1974) mengemukakan bahwa jika ada tulisan yang menggunakan bahasa Jawa Kuno bisa dipastikan ditulis pada abad ke-9 atau setelahnya. Ini berpatokan pada prasasti Sukabumi yang berbahasa Jawa Kuno yang ditaksir dibuat pada tahun 804 M.
Laiknya mutiara dari zaman arkais atau zaman kuno, parwa Mahabharata tidak kehilangan kemilaunya. Daya tarik yang dimiliki Sastra Parwa menarik perhatian ahli sastra, filolog, linguis, dan antropolog, baik dalam negeri maupun mancanegara, untuk menguak berbagai aspek yang termuat di dalamnya.
Pun bagi sastrawan Nusantara, parwa Mahabharata bagai mata air bagi perkembangan bentuk kesusastraan di Jawa pada periode-periode selanjutnya, seperti kakawin dan kidung yang merupakan bentuk karya sastra yang lebih modern, serta perkembangan kesenian lain, seperti wayang, seni tari, seni drama, seni pahat, arsitektur, dan seni yang lain.
Khususnya di bidang kesusatraan, Pendit (2003) mengemukakan parwa Mahabharata menghadirkan tokoh yang hidup dengan konflik yang nyata sehingga pembaca dituntun untuk mempelajari moralitas, kebajikan dalam kehidupan, dan impian akan pola kehidupan manusia.
Parwa Mahabharata pun menyediakan telaga imajinasi terhadap perkembangan cerita yang menunjukan kreativitas sastrawan masa lampau, seperti munculnya tokoh punakawan yang merupakan representasi dari masyarakat non-ksatria yang bertugas menemani sang ksatria.
Kita tentu mengenal Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai punakawan dari pihak Pandawa yang jenaka nan sakti. Tentu kita pun bisa menerka tokoh punakawan itu semacam penafsir dari tutur sang ksatria dan menunjukkan bahwa diskursus mengenai kekuasaan, etika, dan peperangan tidak hanya milik golongan ksatria, melainkan juga milik para abdi atau wong cilik. (ed)