1001indonesia.net – Masyarakat Dayak Kayaan di Kalimantan memiliki alat musik tradisional unik yang disebut sape’. Sampai saat ini, alat musik petik yang menyerupai gitar ini masih dimainkan, bahkan dapat dikolaborasikan dengan alat musik lain.
Sape’ biasa dimainkan dalam acara-acara adat di rumah panjang atau betang, yaitu rumah komunal masyarakat Dayak. Awalnya, alat musik ini bersifat sakral, terkait erat dengan upacara ritual suku Dayak. Seiring waktu, penggunaannya meluas. Saat ini, sape’ digunakan juga sebagai sarana hiburan, media ekspresi diri, media komunikasi, dan pengiring tari.
Dayak Kayaan
Suku Dayak Kayaan terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan juga di Sarawak, Malaysia. Tempat bermukim Suku Dayak Kayaan berada di Sungai Mendalam (Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat) serta di Sungai Mahakam, Sungai Kayaan, dan sekitarnya (Kalimantan Timur).
Sedangkan Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sarawak, Malaysia, menyebar di Sungai Baram, Telaang Usaan, Tubau, dan sekitarnya.
Suku Dayak Kayaan tergolong cukup besar. Di dalamnya terdapat berbagai sub-suku, antara lain Punan, Kenyah, dan Kayaan sendiri. Nama Kayaan berasal dari nama sungai di Kalimantan Timur yang menjadi tempat asal mereka, yaitu Sungai Kayaan.
Suku Dayak Kayaan memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul, maupun tiup. Selain sebagai pengiring tarian, musik menjadi salah satu bagian utama dalam upacara adat masyarakat Dayak.
Asal mula
Kehidupan masyarakat Dayak tak bisa dilepaskan dari alam. Demikian juga dengan kisah penciptaan sape’. Alat musik tradisional ini dibuat dengan inspirasi dan bimbingan dari kekuatan alam.
Dikisahkan, suatu hari sekelompok pemuda mengarungi sungai menggunakan sampan. Aliran air yang demikian deras dan dasar sungai yang tak rata membuat perahu mereka tak terkendali. Pemuda-pemuda itu hanyut dan akhirnya tewas. Hanya menyisakan satu orang yang masih hidup. Ia terdampar di sebuah pulau kecil di tengah sungai.
Pemuda itu mencoba bertahan di pulau kecil tadi. Karena rasa lapar, kantuk, dan serangan hawa dingin, kesadarannya menurun. Pada saat itulah sayup-sayup dia mendengar suara musik petik yang demikian menenangkan. Suara itu perlahan makin jelas dan makin lama sumber suaranya makin jelas. Dia memperkirakan suara itu datang dari dasar sungai.
Singkat cerita, saat kembali ke rumah, sang pemuda mencoba membuat alat musik dengan referensi bunyi yang dia dengan di sungai tadi. Dia percaya itu ilham dari nenek moyang. Alat itu kemudian dia beri nama sape’.
Sementara masyarakat Dayak Kenyah memiliki kisah lain. Konon pada suatu malam, seorang pemusik bermimpi mendengarkan bunyi musik yang merdu dan indah. Dalam mimpinya, seseorang menyebutkan kepadanya bahwa musik yang telah diperdengarkan itu adalah musik lalang buko.
Lalu si pemusik tersebut berusaha menciptakan sebuah alat musik yang dapat menghasilkan bunyi merdu seperti di dalam mimpinya. Akhirnya pemusik itu berhasil membuat alat musik yang dinamai sampeq.
Sape’
Alat musik ini bentuknya seperti gitar. Perbedaannya terdapat pada posisi grip dan tak adanya lubang untuk menggaungkan bunyi petikan senar. Sumber bunyi hanya berasal dari petikan senar.
Alat musik tradisional ini terdiri atas dua jenis. Jenis pertama berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua senar/tali dari bahan plastik.
Jenis ini memiliki empat tangga nada. Orang sering menyebutnya sebagai sape’ Kayaan karena diciptakan oleh orang Kayaan.
Bentuk sape’ Kayaan berbeda dengan jenis sape’ yang dimiliki oleh Dayak Kenyah. Jenis ini berbadan kecil memanjang. Pada bagian ujungnya berbentuk kecil dengan panjangnya sekitar 1,5 meter.
Orang menyebutnya sampeq atau sape’ Kenyah karena ditemukan oleh orang Kenyah. Sape’ ini memiliki tangga nada 11-12. Talinya dari senar gitar atau dawai yang halus lainnya, tiga sampai lima untai.
Para pemain memetik sape’ dalam nada-nada berdasarkan ingatan yang sudah melekat di bawah sadar. Permainan sape’ menekankan pada olah rasa karena alat tersebut tanpa grip (fretless).
Cara membuat
Cara pembuatan sape’ cukup rumit. Di masa lalu, tak sembarang kayu boleh dijadikan bahan. Pemilihan bahan harus melalui proses ritual. Tentu saat ini aturannya sudah tidak lagi seketat dulu.
Kayu yang digunakan juga harus dipilih dari jenis yang kuat dan tidak mudah dimakan rayap. Di Kalimantan Barat, kayu yang paling baik adalah kayu pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya.
Bisa juga dari jenis kayu keras lainnya, seperti kayu nangka dan ulin. Semakin keras dan banyak urat daging pada kayu, maka suara yang dihasilkannya juga semakin bagus.
Baca juga: Kayu Ulin, Kayu Besi Khas Kalimantan yang Semakin Langka
Bagian permukaan kayu diratakan, sementara bagian belakangnya dibuat berlubang secara memanjang, namun tidak tembus ke permukaan. Untuk menghasilkan suara yang bagus, tingkat tebal tipisnya tepi dan permukaannya harus sama. Tujuannya agar suara bisa bergetar merata sehingga ketika dipetik, suara yang dihasilkan cukup lama dan nyaring.
Cara membuatnya, pertama-tama batang pohon ditarah dengan kapak lalu dijemur sampai kering. Setelah benar-benar kering balok kayu tersebut dilubangi seperti membuat perahu. Kalau lubangnya sudah selesai, kemudian ditarah sampai cukup tebalnya sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Setelah itu, dibuatlah bahunya kira-kira sekepal tangan. Di bagian ujungnya dibuat lubang untuk tempat pemutarnya, sesuai dengan jumlah senar yang diinginkan. Pada setiap lubangnya ditusuk dengan ujung pisau sebagai tempat untuk memasukkan senar, agar dapat dililitkan pada putarannya.
Dengan selesainya bentuk sape’ ini, dibuatkan pula putarannya serta ukiran sebagai hiasan kepala dan badan sape’. Motif ukirannya berupa dedaunan atau tumbuhan, menggambarkan kedekatan masyarakat Dayak dengan alam.
Baca juga: Burung Enggang, Burung yang Dikeramatkan oleh Suku Dayak
Langkah selanjutnya adalah memasang senar. Sebagai alat penyetemnya (sama dengan grip gitar), bisa ditambahkan potongan belahan rotan. Belahan-belahan rotan ini direkatkan dengan kelulut (seperti lilin madu tawon), sesuai dengan bunyi nada yang diinginkan.
Fungsi
Sape’ memiliki peran penting dalam kehidupan suku Dayak Kayaan sebagai bagian dari sarana ritual. Di masa silam, sape’ digunakan suku Dayak untuk mengiringi tarian pada masa kayau. Masa pada saat suku Dayak masih mencari kepala manusia. Kepala-kepala hasil dari mengayau itu dibawa ke rumah panjang atau rumah betang dengan tarian, diiringi petikan sape’.
Namun, sape’ pula yang mengiringi ritual ketika suku-suku Dayak melakukan perjanjian untuk mengakhiri tradisi kayau pada 1894. Sape’ digunakan untuk mengiringi nyanyian yang bermakna mengakhiri tradisi mengayau. Perwakilan subsuku Dayak di Kalimantan kala itu memainkan sape’ sebagai simbol perdamaian.
Sape’ juga biasa dimainkan saat pesta rakyat (dange) dan gawai padi (ritual syukuran atas hasil panen padi). Ada kalanya juga untuk mengiringi pengobatan orang sakit, acara perkawinan, dan upacara persembahan.
Sape’ juga kerap dimainkan anak-anak muda ketika berkumpul di malam hari. Tak jarang pemuda memainkan sape’ untuk menarik perhatian perempuan yang dia taksir. Sape’ menjadi bahasa pergaulan.
Sekarang ini sape’ tak lagi dimainkan dalam konteks pergaulan tadi. Anak-anak muda tentu lebih senang menggunakan gawai sebagai media bergaul. Meski demikian, hal itu tidak membuat sape’ tersingkir dari perkembangan zaman.
Perkembangan
Pada masa yang silam yang memiliki alat musik sape’ ini hanyalah suku Dayak. Namun pada saat ini, sape’ sudah dikenal oleh suku-suku lain. Bahkan ada sekolah yang sudah mengajarkan alat musik ini kepada siswa-siswanya.
Penyebaran alat musik ini disebabkan oleh perpindahan suku Dayak ke beberapa daerah di Kalimantan. Terutama suku Dayak Kenyah yang berasal dari daerah Apokayan (daerah Long Nawang) yang pindah ke kabupaten lain di Kalimantan. Dengan kata lain, penyebaran musik sape’ meluas dari utara ke selatan Pulau Kalimantan.
Setelah sampai ke daerah-daerah yang baru, terdapatlah variasi nada-nada yang dihasilkannya, serta lagu yang dihasilkannya akan bervariasi pula. Saat ini, sape’ bahkan sudah bisa dimainkan bersama-sama dengan alat musik yang lain.
Dari alat musik ritual, sape’ berkembang menjadi bagian dari seni pertunjukan. Sikap luwes ini diperlukan sehingga sape’ tak hanya hadir dalam ruang yang sakral, tapi juga dalam ruang profan. Dengan cara ini, alat musik tradisional khas masyarakat Dayak Kayaan ini mampu bertahan dalam gempuran perubahan zaman.
Sumber:
- Faiq Mohammad Hilmi dan Fransisca Romana Ninik, “Sape’ Luwes Merespons Zaman, https://interaktif.kompas.id/musik_sape
- Rahmawati, Neni Puji Nur, “Sape’: Fungsi dan Perkembangan Alat Musik Tradisional Suku Dayak Kayaan di Kalimantan,” dalam Walasuji Vol. 6, No. 2, Desember 2015, hal. 451—462.
Terimakasih, artikelnya sangat bermanfaat sekali.
jangan lupa untuk mengunjungi kami di Distributor Alat Marching Band Di Jakarta