Salawat Dulang, Kekayaan Sastra Lisan Islami dari Minangkabau

910
Salawat Dulang
Pertunjukan Salawat Dulang (Foto: klikpositif.com)

1001indonesia.net – Islam menjadi salah satu unsur yang paling memengaruhi budaya Indonesia, tak terkecuali kesenian. Di Indonesia berkembang beragam kesenian bertema Islam. Salah satunya adalah salawat dulang dari ranah Minang.

Salawat dulang merupakan sastra lisan Minangkabau berupa pertunjukkan dua orang membacakan cerita tentang kehidupan Nabi Muhammad, cerita yang memuji nabi, ataupun cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam. Pembacaan cerita tersebut diiringi irama ketukan jari pada dulang, yaitu nampan kuningan berdiameter 65 cm.

Salawat dulang disebut juga sebagai salawat talam. Sebab, di Payakumbuh dan Pariaman, dulang disebut dengan talam. Di Payakumbuh, khususnya di daerah Koto Panjang, ada tukang salawat yang terdiri atas tiga orang tiap satu klub. Di Pariaman, Klub Salawat Talam dapat dijumpai di Toboh dan Kampung Dalam.

Sejarah keberadaannya

Konon, salawat dulang berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya Syekh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu, ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau.

Saat berdakwah, Syekh Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.

Baca juga: Rebana, Alat Musik Tradisional Melayu

Pendapat lain menyebutkan, kesenian islami ini berasal dari Tanah Datar. Salawat dulang dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, pesannya cenderung berisi ajaran tasawuf.

Pertunjukan

Dalam pertunjukkannya, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang bersamaan. Keduanya dapat berdendang bersamaan atau saling menyambung larik dalam syair. Pendendang umumnya laki-laki. Namun, kini terdapat pula pendendang-pendendang perempuan meskipun belum begitu berterima di masyarakat Minangkabau sendiri.

Penampilan salawat dulang berupa tanya jawab, saling serang, dan saling mempertahankan diri sehingga pendendang kadang dijuluki menurut nama-nama senjata, seperti “peluru kendali” dan “gas beracun” dan hanya bisa dilaksanakan bila pendendang berjumlah setidaknya dua orang.

Pembacaan hafalan teks berdurasi antara 25 hingga 40 menit, biasanya berisi tafsiran dari ayat Alquran atau hadits yang telah ditulis sebelumnya. Sesi pembacaan satu teks ini disebut salabuahan (disebut juga satanggak atau satunggak).

Salawat dulang dipertunjukkan pada hari-hari besar agama Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha. Kesenian ini juga digelar pada upacara bernuansa agama, seperti ketika menaiki rumah baru dan khatam al-Quran.

Biasanya kesenian ini digelar di tempat yang dipandang terhormat oleh masyarakat Minangkabau, seperti surau atau masjid, atau tempat untuk tamu yang dihormati bila diadakan di rumah penduduk (terletak di bagian kiri dari pintu masuk utama). Pertunjukan biasanya dimulai selepas shalat Isya.

Perkembangan

Seperti yang dilansir dapobas.kemdikbud.go.id, seiring perkembangan zaman, salawat dulang mengalami perkembangan. Dulu, yang tampil hanya dua orang (satu klub) untuk menyajikan buah kaji, yakni tafsiran dari ayat Al-quran ataupun Hadist.

Salawat dulang kemudian ditampilkan oleh empat orang (dua klub), masing-masing membawakan buah kaji yang mereka kuasai. Lama-kelamaan berkembang menjadi kompetisi uji kemampuan dengan cara saling mengajukan pertanyaan dan jawaban.

Penyajian salawat dulang juga berkembang dengan memasukkan pembahasan berupa masalah-masalah yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bahkan, di daerah Kamang-Agam, pernah terkenal “Hikayat Perang Kamang” yang merupakan cerita sejarah, yang berbeda dengan pembahasan ajaran-ajaran Islam.

Fungsi salawat dulang pun mengalami perkembangan. Awalnya kesenian ini berfungsi sebagai sarana dakwah dan hanya dipertunjukkan dalam perayaan-perayaan agama Islam. Saat ini tradisi lisan juga berfungsi sebagai sarana hiburan serta sarana menarik perhatian penonton untuk mengikuti suatu aktivitas, seperti penggalangan dana.

Meski mengalami perkembangan, salawat dulang tetap tidak meninggalkan aspek-aspek ajaran Islamnya. Salah satunya adalah tetap mempertahankan pembacaan salawat di awal pertunjukan.

Baca juga: Kompangan, Kesenian Hadrah dari Jambi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.