1001indonesia.net – Suku Mentawai mendiami kepulauan di lepas pantai barat Pulau Sumatra. Sekitar 70 pulau menjadi bagian kepulauan ini. Pada sebagian aspek kebudayaan masyarakatnya, masih terdapat ciri peradaban Neolitikum dan Austronesia kuno.
Masyarakat tradisional suku Mentawai hidup dengan cara berkebun dan beternak secara sederhana. Pembagian kerja ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Dengan teknologi yang masih sederhana, dibangunlah rumah panjang Mentawai yang disebut uma. Rumah panjang itu menjadi pusat kegiatan dari masyarakat tradisional suku Mentawai.
Masyarakat Rumah Panjang Mentawai
Meski pengaruh modern membawa perubahan besar dalam kebudayaan tradisional suku Mentawai, namun sistem kehidupan tradisional di rumah panjang belum sepenuhnya hilang. Sistem kehidupan tradisional ini masih bisa ditemukan di Siberut, pulau terbesar dari gugus kepulauan Mentawai.
Satu uma dapat menampung sekitar selusin keluarga. Bersama-sama mereka membuat satuan sosial yang terpisah—juga disebut uma—yang menjadi dasar kelompok bangunan masyarakat Mentawai.
Setiap uma menjadi milik salah satu dari banyak marga yang tersebar di antara pulau-pulau. Terdapat peraturan adat bahwa istri harus dicari dari marga lain, lebih baik berasal dari uma luar daerah. Persekutuan terjadi akibat hal ini.
Namun, hubungan baik antar-uma yang bertetangga terus-menerus diganggu oleh persaingan dan kecurigaan yang mengancam perdamaian dan sering mengarah pada kekerasan.
Rumah Panjang Mentawai
Uma atau rumah panjang Mentawai merupakan bangunan besar. Panjangnya antara 20 sampai 25 meter dengan lebar kira-kira 10 meter.
Uma berbentuk rumah panggung, berdiri di atas tiang-tiang dan dibangun tanpa paku besi. Sambungan dibuat dengan tanggam atau ikatan. Seperti banyak rumah asli Indonesia lainnya, penataan kayu tegak dan melintang harus mengikuti arah dari pertumbuhan bahan yang dipakai.
Lihat: Ciri Umum Arsitektur Tradisional Indonesia
Lantai uma merupakan suatu panggung yang kuat di atas tiang yang tingginya kira-kira 1,5 sampai 2 meter. Tinggi seluruh uma, dari tanah hingga atapnya yang menjulang ke atas, kadang-kadang bisa lebih dari 10 meter.
Pusat upacara di rumah panjang Mentawai ditandai dengan tiang siegge legeu, yang berdiri ke kanan arah pintu masuk ruangan dalam. Orang Mentawai memercayai bahwa roh halus pahlawan pembela budaya tinggal di bawah tiang tersebut.
Saat rumah disucikan pada saat penyelesaian pembangunan, di tiang siegge legeu inilah tempat bakkat katsaila ditempelkan. Bakkat katsaila adalah zimat rumah utama, terdiri atas segumpal daun-daun yang disucikan dan mempunyai pengaruh “mendinginkan” rumah dan hidup penghuninya.
Tata ruang rumah panjang Mentawai terdiri atas: beranda yang beratap untuk kegiatan sehari-hari dan bersantai; ruang luar untuk persiapan makan bersama, pesta, dan dansa; dan ruang dalam yang biasanya dibagi menjadi beberapa ruangan kecil yang merupakan tempat para wanita mengadakan pertemuan keluarga dan mereka menginap di situ pada malam hari bersama dengan anak-anaknya.
Pola Hunian Suku Mentawai Tradisional
Tiap keluarga mempunyai hunian sendiri (sapou) yang berada di dekat dengan perkebunan mereka. Sapou menjadi tempat mereka hidup sehari-hari. Mereka datang bersama-sama ke uma untuk upacara dan kegiatan pesta. Pada waktu itu, kehidupan keluarga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kelompok secara keseluruhan.
Dalam uma keluarga bahkan tidak tidur bersama. Laki-laki dewasa dan anak-anak laki-laki remaja menyiapkan kelambu di beranda. Wanita dan anak-anak menempati belakang rumah.
Pertanda Gaib dan Perdukunan
Bangunan rumah Mentawai diawasi oleh seorang rimata, atau pemimpin upacara, biasanya laki-laki tua yang ahli dalam menerjemahkan pertanda dan adat keagamaan. Baginya, uma merupakan rumahnya dan dialah yang membuat sumbangan terbesar untuk pembangunan.
Meski demikian, semua anggota akan menyediakan bahan bangunan dan tenaga kerja, sementara kelompok tetangga diundang untuk membantu proses pembangunan. Para tetangga akan dijamu dengan makanan yang melimpah. Mereka ambil bagian sebagai tamu dalam beberapa upacara yang menyertai beberapa tahapan pembangunan.
Rumah panjang Mentawai tidak berpatokan menurut orientasi mata angin. Uma dianggap hanya makmur di tempat yang disetujui oleh leluhur atau roh setempat. Sebelum pembangunan dimulai, sebuah tempat kecil dibersihkan dan selama proses pembangunan perhatian khusus diberikan untuk tanda perdukunan.
Panggilan burung tertentu, munculnya hewan tertentu, keanehan iklim, dan seterusnya dianggap sebagai pesan roh halus. Jika pesan ini tidak menyenangkan maka tempat lain harus dicari. Cara yang sama juga dilakukan saat mencari tiang dan bahan bangunan lain: pertanda yang tidak baik menunjukkan bahan yang diusulkan harus dibuang.
Saat yang penting adalah pada waktu memasang tiang-tiang utama rumah. Tiang, yang harus, terakhir didirikan disebut siegge legeu, ‘dia yang menunggu di masa tak berawan.’ Apabila hujan turun pada malam setelah didirikan, jika seorang meninggal di sekitarnya, atau bila ada gempa bumi, semua pekerjaan menjadi sia-sia; semua bangunan harus dibongkar, dan semua bahan disimpan sampai ada tempat baru dipilih.
Apabila semua berjalan baik, maka lantai ditetapkan, dengan perhatian khusus pada lantai tempat menari di ruang luar, yang dibuat dari papan. Dalam contoh ini, guntur dianggap pertanda baik: semua orang senang mendengar irama guntur, karena hentakan kaki bergemuruh merupakan bagian dari tarian.
Upacara Penghunian
Setelah proses pembangunan selesai, diadakanlah upacara penghunian yang berlangsung beberapa minggu. Upacara ini dimulai dengan kurban sebagai penghormatan terhadap leluhur dan para roh halus. Ada acara pesta. Dan, didirikanlah tiang bambu di tepi sungai untuk setiap babi yang disembelih. Tiang-tiang ini menandakan berapa banyak hewan yang dikurbankan.
Ada juga upacara berburu kera jantan. Tengkorak kera jantan hasil buruan dipasang di papan kayu yang diukir dan dilukis (jaraik), digantung di atas pintu masuk ruang paling dalam sebagai penjaga dari pengaruh jahat.
Setelah seluruh upacara penghunian selesai, seluruh kelompok pindah untuk beberapa hari tinggal dengan tetangganya. Pada masa silam, sebelum penjajahan, tahap akhir ditandai dengan ekspedisi mengayau.
Lihat juga: Rumah Panjang, Rumah Tradisional Suku Dayak
Sumber
- Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1993.
- Tjahjono, Gunawan, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.