1001indonesia.net – Rumah gadang dari provinsi Sumatra Barat merupakan salah satu dari ragam rumah asli Indonesia yang mewarisi atap pelana Austronesia dan menjadi yang paling memukau dibanding yang lain. Meski keberadaannya sudah semakin jarang, rumah tradisional ini memberikan pemandangan yang menakjubkan di dataran tinggi Minangkabau.
Rumah gadang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama. Beberapa keluarga dekat secara matrilineal (garis keturunan ibu) hidup bersama di bawah atapnya.
Minangkabau dan Rumah Gadang
Atap rumah adat Minangkabau menjulang ke atas dan meruncing. Garis menyempit dibagi beberapa tingkatan, menciptakan sebanyak enam atau bahkan lebih ujung runcing pada bangunan terbesar dan terbaik. Bentuk atap dengan ujung yang agung tersebut merupakan simbol tanduk “kerbau kemenangan” yang legendaris dalam pertandingan yang diselenggarakan oleh pesaing dari Jawa, dan berdasar etimologi itu mereka mengambil nama tersebut.
Sebagian dari penduduk Minangkabau hidup di luar tanah asli, merantau ke daerah lain Indonesia dan di luar negeri untuk berdagang, belajar, dan bekerja. Budaya merantau sangat kuat dalam adat Minangkabau dan menjadi sebab bagi terbukanya berbagai pengaruh eksotik dari luar daerah.
Sistem matrilineal (garis keturunan ibu), jejak asal melalui wanita yang mewarisi rumah dan tanah leluhur, merupakan ciri penting Minangkabau. Sistem ini pula yang mendorong para pemuda Minang untuk pergi merantau dikarenakan tanggung jawab keluarga lebih banyak dijalankan oleh kaum perempuan daripada laki-laki.
Kaum pemuda yang merasa tidak banyak berguna dalam keluarga lalu merantau, mencari pengalaman dan kesuksesan di negeri orang. Sistem matrilineal memberi corak khas pada masyarakat Minangkabau selama berabad-abad lamanya, bertahan dari gempuran perubahan zaman.
Rumah Gadang yang Berukuran Besar
Pada masa lalu, rumah gadang (besar) Minangkabau memang sesuai namanya. Dikisahkan, seorang opsir penjajah Belanda menemukan lebih dari 100 orang hidup dalam satu rumah gadang di Alahan panjang, dan antara 10 sampai 80 orang hidup di rumah lain. Bangunan terbesar berukuran 120 × 15 meter dengan 20 biliak, atau ruang keluarga.
Selama abad ke-20, perang dan bencana alam menyebabkan kehancuran banyak rumah gadang. Meski pada umumnya konstruksi rumah gadang sudah memperhitungkan bencana gempa, tidak urung beberapa rumah roboh oleh gempa bumi yang menghantam Padang Panjang tahun 1926. Ribuan lebih hancur selama perang kemerdekaan Indonesia (1945–49), juga selama pemberontakan PRRI (1950).
Untuk membangun rumah-rumah besar ini kembali dan membiayai upacara pembangunannya membutuhkan biaya yang sangat mahal. Pohon besar untuk membuat tiang-tiang utamanya pun semakin sulit didapat sehingga orang-orang cenderung membangun rumah modern dengan beton daripada membangun kembali rumah gadang. Meski demikian, rumah gadang yang tradisional itu tetap penting sebagai penanda silsilah dan tempat untuk berbagai upacara adat.
Teknik Konstruksi Rumah Gadang
Seperti rumah tradisional Indonesia lainnya, bagian-bagian rumah gadang disatukan tanpa paku besi. Tiang disambung dan palang pembentuk rangka dipasak di tempat. Tiang utama rumah didirikan tegak.
Pada rumah-rumah yang sudah berusia tua, terdapat tiang luar yang agak condong ke luar sedikit. Hal ini untuk memberi sentuhan garis atap yang dibangun ke atas dan keluar dengan cara balok-balok melintang dan kerangka penguat. Puncaknya diperluas dengan pemakaian penunjang dan pengikat.
Dulu, atap dibuat dari serat ijuk yang tahan sampai ratusan tahun. Namun, sejak 1907, seng gelombang menjadi pengganti. Konstruksi jenis bangunan lain, seperti lumbung padi, tempat pertemuan, dan tempat sembahyang (surau) tidak banyak bedanya dengan rumah induk.
Denah dan Susunan Tata Ruang Rumah Gadang
Rumah Minangkabau berdenah persegi panjang. Pintu masuk berada di salah satu sisi memanjang. Pintu masuk ini mengarah ke ruang besar, tempat kegiatan sosial diadakan.
Pada satu ujung ruangan, ada tempat yang ditinggikan, disebut anjuang (anjung). Sebab itu, rumah gadang disebut juga sebagai rumah baanjuang.
Dalam masyarakat Minang yang berciri matrilineal, suami hidup di rumah istri. Secara tradisional, anjuang merupakan tempat tinggal banyak anak perempuan yang baru menikah dan suaminya tinggal.
Wanita lain yang sudah menikah dan pasangannya menempati bilik atau biliak di belakang rumah. Setiap gadis yang menikah pindah ke anjuang, sementara wanita yang sudah menikah lainnya pindah bergeser satu ruangan ke arah dapur.
Idealnya, wanita tertua di rumah harus tidur di biliak sebelah dapur. Jika tidak ada biliak kosong untuk ditempati, ia pindah ke ruangan yang disebut pangkalan (tiang pusat) melambangkan kedudukannya sebagai wanita tua.
Saat ini, tradisi di atas sudah banyak ditinggalkan. Para perempuan yang menikah lebih suka pindah keluar rumah dan membangun tempat tinggal sendiri atau tinggal di kompleks perumahan bila mereka mampu.
Sumber: Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.