Rumah Adat Lontiok, Warisan Budaya Masyarakat Kabupaten Kampar

1769
Rumah Lontiok
Sumber: riaumagz.com

1001indonesia.net – Lontiok merupakan nama rumah adat Melayu yang dimiliki masyarakat Kampar, Riau. Disebut Lontiok karena bentuk rumahnya yang melengkung ke atas seperti haluan perahu. Berasal dari bahasa setempat, lontiok berarti lentik.

Rumah tradisional ini berbentuk panggung, ditopang oleh beberapa tiang penyangga. Konstruksi rumah panggung sangat berguna untuk melindungi keluarga penghuni rumah dari banjir dan serangan binatang buas.

Masyarakat Kampar memanfaatkan kolong rumah untuk berbagai keperluan, seperti untuk beternak, sebagai gudang bahan makanan, untuk menyimpan perahu, serta tempat bermain anak-anak yang aman dan tak jauh dari rumah.

Seperti umumnya rumah-rumah tradisional lain di Indonesia, rumah Lontiok tak sekadar sebagai tempat tinggal. Bagian-bagian bangunan dari  rumah tradisional ini memiliki makna yang menggambarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Lengkung pada atap, misalnya, merupakan simbol penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Demikian juga dengan tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah. Sesuai dengan kepercayaan setempat, anak tangga harus berjumlah ganjil. Biasanya jumlahnya 5, merujuk pada lima rukun Islam.

Bagian dinding luar rumah Lontiok miring ke luar seluruhnya, sementara dinding bagian dalamnya tegak lurus. Balok tumpuan untuk dinding luar juga melengkung ke atas, kadang-kadang menggunakan sambungan ukiran di bagian sudut-sudut dinding, hingga terlihat mirip dengan perahu. Sebab itu, rumah ini disebut juga sebagai rumah lancang atau rumah perahu.

Bagian balok tutup atas juga tampak melengkung meskipun tidak selengkung balok tumpuan. Lengkungan mengikuti sisi bawah bidang atap.

Kedua ujung dari perabung diberi hiasan yang sering disebut dengan sulo bayung. Sementara ornamen pada keempat sudut cucuran atap disebut sayok lalangan. Bentuknya ada yang menyerupai tanduk kerbau dan bulan sabit.

Jenis kayu yang digunakan untuk membangun rumah Lontiok adalah kayu-kayu keras dan kuat, seperti kayu kulim, terembesi, resak, ataupun kayu punak. Lantainya terbuat dari kayu medang atau punak. Tiang rumah terbuat dari kulim atau punak. Jendela dan dinding juga dibuat dari kayu-kayu sejenis. Pada masa silam, bagian atap dibuat menggunakan ijuk, rumbia, atau daun nipah.

Rumah Lontiok biasanya memiliki tiga ruangan. Jumlah ini sesuai dengan pepatah hidup masyarakat Kampar, yakni alam berkawan (pergaulan sesama warga kampung), alam bersamak (merupakan cerminan ruang tengah untuk keluarga dan kerabat), serta alam semalu (dilambangkan dengan ruang dapur yang merupakan ruang pribadi kehidupan berumah tangga).

Di setiap rumah Lontiok biasanya dilengkapi dengan lumbung padi dan sumur. Bangunan lumbu padi juga berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Sedangkan sumur bentuknya berbeda dengan sumur kebanyakan yang berbentuk bundar. Sumur di rumah Lontiok terbuat dari batu yang berbentuk prisma segi empat atau terlihat seperti bentuk rumah.

Untuk mendirikan rumah ini tak bisa sembarangan. Biasanya diawali dengan musyawarah para ninik mamak kampung. Setelah disepakati, rumah dibangun secara bergotong royong.

Saat ini, keberadaan rumah Lontiok semakin langka akibat terdesak oleh arsitektur rumah modern. Salah satu rumah yang tersisa terletak di Dusun Pulau Belimbing, Desa Sipungguk, Kampar. Rumah tersebut dijadikan sebagai tempat wisata untuk mengenang warisan budaya yang dimiliki masyarakat Kampar.

Baca juga: Rumah Gadang Minangkabau, Sumatra Barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 − one =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.