Resik Lawon, Tradisi Unik Menjelang Ramadhan di Banyuwangi

995
Tradisi Resik Lawon Banyuwangi
Warga Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kabupaten Banyuwangi, menjemur kain kafan penutup petilasan Ki Buyut Cungking yang telah dicuci. (Foto: KOMPAS.COM/Ira Rachmawati0

1001indonesia.net – Warga Banyuwangi mempunyai tradisi unik menjelang Ramadhan, yaitu mencuci dan mengganti kain kafan penutup petilasan Ki Buyut Cungking. Ritual yang dimaksudkan sebagai pembersihan diri dan penghormatan terhadap Ki Buyut Cungking ini disebut Resik Lawon.

Buyut Cungking atau Ki Buyut Wongso Karyo diperkirakan hidup pada tahun 1536‒1580.  Ki Buyut merupakan penasehat Prabu Tawangalun pada masa kerajaan Blambangan yang merupakan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi. Tokoh yang dikenal sakti ini konon berasal dari wilayah Gunung Baluran, yang kini masuk wilayah Kabupaten Situbondo.

Ritual Resik Lawon dilakukan oleh warga Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kabupaten Banyuwangi. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun ini biasanya digelar antara tanggal 10‒15 Ruwah dalam kalender Jawa, pada hari Kamis atau Minggu.

Ritual Resik Lawon diawali dengan melepas kain putih penutup cangkup makam. Kain-kain tersebut lalu dibawa ke Dam Krambatan Banyu Gulung yang berada di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Giri, untuk dicuci.

Jarak dari makam menuju Dam Krambatan sekitar 3 kilometer. Lokasi itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, tidak boleh dengan kendaraan bermotor.

Setiap lembar kain diperas dan dibilas selama 3 kali dalam dua bak yang berbeda. Semua prosesi ritual ini dilakukan oleh laki-laki. Sementara perempuan menyiapkan makanan untuk disajikan kepada tamu-tamu yang datang ke Balai Tajuk.

Uniknya, air bekas bilasan dari kain kafan akan menjadi rebutan warga. Mereka percaya air tersebut membawa berkah. Ada yang menggunakan air tersebut untuk disiramkan ke sawah agar hasil panen baik. Ada yang menggunakannya untuk cuci muka dan mandi agar mendapatkan berkah.

Resik Lawon
Warga mengantri untuk mendapatkan perasan kain kafan penutup cungkup makam Buyut Cungking. (Foto: DETIK.COM/Ardian Fanani)

Setelah dibilas, kain putih sepanjang 110,75 meter tersebut dikeringkan di bawah sinar matahari. Kain kafan dijemur di tengah jalan desa di ketinggian empat meter dengan tali tambang hitam yang dibentangkan dan diikat pada bambu.

Salah satu syarat ritual tersebut adalah kain putih tidak boleh jatuh dan terkena tanah. Agar tidak jatuh, ujung kain putih diikatkan ke tali tambang hitam menggunakan bambu yang sudah ditipiskan.

Jika sudah mengering, kain tersebut diturunkan dan dibawa kembali ke Balai Tajuk untuk disimpan di sana. Setelah satu minggu, kain-kain itu dilabuh atau dipendam di sekitar petilasan Buyut Cungking.

Warga kemudian mengganti kain putih penutup cungkup makam dengan yang baru. Kain yang merupakan hasil sumbangan warga tersebut telah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Dijahit secara bergotong royong di Balai Tajuk.

Ritual diakhiri dengan selamatan bersama warga di petilasan Ki Buyut Cungking.

Ritual Resik Lawon dilakukan sebagai simbol pembersihan diri sebelum masuk bulan Ramadhan, untuk mendapat berkah dari doa-doa yang dipanjatkan selama ritual, dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada Ki Buyut Cungking sebagai pendiri Lingkungan Cungking.

Baca juga: Perlon Unggahan, Tradisi Keturunan Bonokeling Menjelang Puasa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.