Peran Kearifan Lokal dalam Penanganan Konflik di Indonesia

1826
Peran Kearifan Lokal dalam Penanganan Konflik di Indonesia
Tradisi Okomama di Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi simbol yang menandai adanya ikatan tali persaudaraan dan persahabatan. Tradisi ini dilangsungkan untuk meredam perselisihan yang berlangsung di antara warga.

1001indonesia.net – Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam, konflik merupakan peristiwa yang kadang sulit dihindari. Karena kesadaran itu, maka kita perlu
memahami potensi-potensi dan faktor-faktor yang bisa menciptakan konflik dalam masyarakat yang sangat beragam ini.

Selain itu, di internal setiap masyarakat kadang juga terkandung kearifan lokal, yang pada level tertentu bisa meredam kemungkinan konflik melebar dan meluas. Tentu saja, kearifan lokal bukan obat mujarab, namun paling tidak ia bisa mengurangi potensi konflik dalam masyarakat.

Dalam kasus-kasus konflik yang pernah terjadi, seperti di Maluku, Poso, dan Kalimantan, kearifan lokal bisa membantu mempercepat pemulihan ketegangan dan kecurigaan yang masih berlangsung pascakonflik.

Ada beberapa budaya lokal yang memiliki fungsi merekatkan masyarakat yang memiliki potensi konflik. Misalnya adalah tradisi pela gandong di Maluku. Dengan tradisi pela gandong, dua negeri (desa) yang berbeda agama, Islam (Salam) dan Kristen (Sarane, dari kata Nasrani), diikat dalam tali persaudaraan.

Tradisi pela gandong sebenarnya tradisi yang sudah ada sejak lama, dan tradisi itu yang membuat sebagian masyarakat Maluku, meski berbeda agama namun sudah seperti saudara kandung. Karenanya, bagi sebagian besar kalangan, konflik antara umat Islam
dan Kristen pada 1999 adalah kejadian yang sangat mengagetkan. Ke mana tradisi pela gandong yang mengikat kedua umat tersebut?

Tentu saja penjelasannya cukup rumit dari hanya sekadar lunturnya budaya pela gandong.
Ada masalah distribusi politik yang tidak adil dan kecemburuan sosial akibat tata kelola yang buruk. Namun setelah konflik itu, selain memperbaiki tata kelola keragaman dan distribusi kekuasaan agar lebih fair, sebagian masyarakat, baik muslim maupun Kristen kembali aktif menghidupkan budaya pela gandong.

Melalui tradisi pela gandong, masyarakat yang memiliki ikatan persaudaraan itu akan merasa berkewajiban untuk saling membantu. Jika pihak muslim sedang mempunyai hajat, misalnya membangun masjid, maka saudara-saudaranya yang Kristen dipastikan akan membantu. Begitu juga sebaliknya, ketika umat Kristen sedang membangun gereja, yang muslim wajib membantu.

Budaya semacam ini tentu saja bukan jaminan bahwa mereka akan terhindar dari perselisihan. Namun paling tidak, budaya ini bisa menjadi alat peringatan dini sehingga konflik tidak meluas.

Di masyarakat Nusantara yang lain juga ada budaya yang memiliki fungsi untuk meredam perselisihan. Di Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, terdapat tradisi “Okomama”.

Okomama sebenarnya adalah sebuah kotak dengan aneka ukuran yang di luarnya dibalut dan dilapisi kain tenunan adat. Di dalamnya terdapat sirih, pinang, dan kapur. Dalam masyarakat Soe, bila ada konflik atau pertikaian maka pihak-pihak yang bertikai kemudian dipertemukan untuk berdamai.

Oleh para pemimpin adat, mereka diminta untuk berjanji dan bersumpah agar tidak ada lagi permusuhan di antara mereka. Yang ada hanyalah perdamaian. Sumpah dan janji itu dilakukan dengan saling memasukkan kedua tangan pihak yang saling bertikai ke dalam okomama itu. Usai itu mereka saling berangkulan dan saling mengunyah sirih dan pinang dari dalam okomama.

Tradisi Okomama adalah simbol yang menandai adanya ikatan tali persaudaraan dan persahabatan. Sebagian besar orang Nusa Tenggara Timur, muda atau tua, laki-laki atau perempuan biasanya mengunyah sirih-pinang karena sudah menjadi tradisi nenek moyang mereka.

Bagi orang luar NTT, jika ingin diterima sebagai saudara atau sahabat, mereka harus
menerima ketika ditawari sirih-pinang Okomama. Jika si pendatang tidak terbiasa mengunyah sirih, maka ia cukup memasukkan tangannya ke dalam (wadah) okomama itu. Usai itu maka sang tamu atau pendatang itu dengan mudah diterima dengan hangat sebagai sahabat.

Dalam menyelesaikan perselisihan, masyarakat Musi Rawas, Sumatra Selatan juga memiliki tradisi yang disebut Tepung Tawar. Tradisi ini memiliki fungsi untuk menetralisasi
konflik tersebut. Sejauh ini, tradisi tepung tawar dinilai cukup efektif bukan hanya untuk mengakhiri konflik tetapi juga mampu menumbuhkan rasa persaudaraan antar-kelompok yang sebelumnya bertikai.

Biasanya, jika terjadi konflik atau perselisihan, tokoh adat setempat berinisiatif menemui
keluarga yang bertikai untuk melihat asal usul dan penyebab pertikaian. Setelah itu, tokoh adat dari pihak yang dinilai bersalah mendatangi pihak keluarga yang menjadi lawan bertikai sambil membawa “Punjung Mentah”. Di dalam Punjung Mentah itu terdapat
kopi, gula, 2 kilogram beras, 1 ekor ayam, dan satu bungkus rokok.

Dari segi nilai, isi barang bawaan itu tentu saja tidak seberapa. Namun, tradisi Punjung Mentah merupakan ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Sejauh ini, jika sudah dibawakan Punjung Mentah, keluarga korban akan merasa puas dan dihormati sehingga biasanya langsung menerima ungkapan maaf itu dengan lapang dada tanpa rasa dendam.

Usai pemberian Punjung Mentah, kemudian dilanjutkan dengan tradisi Tepung Tawar. Dalam tradisi ini, pemuda atau orang yang saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan
tepung tawar di badannya. Sesudah itu, maka kedua pemuda yang bertikai dianggap menjadi bagian dari saudaranya sendiri.

Hal yang ditekankan dalam tradisi ini sebenarnya adalah upaya untuk menempatkan posisi setiap orang atau pihak pada posisi yang bermartabat dan layak dihormati.

Tradisi-tradisi di atas merupakan cara masyarakat Nusantara untuk membangun harmoni, persaudaraan, kerja sama, dan nilai positif lainnya. Masih banyak tradisi lokal lainnya yang
memiliki fungsi serupa. Barangkali, tradisi-tradisi itu lahir karena kita sangat menyadari bahwa setiap saat bisa terjadi konflik dalam masyarakat yang sangat beragam ini.

Tidak semua konflik harus diselesaikan secara hukum. Melalui tradisi-tradisi itu, konflik dan perselisihan diselesaikan secara kekeluargaan dengan menjaga martabat dan kehormatan
masing-masing pihak. Bahkan jika dimungkinkan, tradisi itu justru diharapkan mampu membangun tali persaudaraan antarmereka yang bertikai.

Sebab itu, ada ungkapan yang cukup terkenal dalam masyarakat Nusantara, “Tak Kenal maka Tak Sayang”. Inilah salah satu kekhasan masyarakat Nusantara dalam menyikapi
perbedaan.

Birgit Bräuchler pernah menegaskan sikap ini pada cara orang Maluku menyelesaikan konflik. Katanya “Reconciliation came rather naturally (secara alami), when we became aware of the disastrous effects of the conflict and the need to restrengthen our culture, our
adat, and our identity (budaya, adat, dan jati diri) (Bräuchler 2015: 1).”

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

16 − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.