1001indonesia.net – Orang-orang di Tana Toraja masa silam memiliki cara tersendiri dalam memakamkan bayi yang disebut Passiliran. Bayi yang meninggal tidak dikubur di dalam tanah, tetapi disemayamkan pada sebuah pohon. Cara memakamkan bayi seperti ini dilakukan oleh masyarakat Tana Toraja yang menganut Aluk Todolo.
Baca juga: Mengenal Aluk Todolo, Agama Leluhur Suku Toraja
Pohon yang dipilih sebagai makam bayi adalah pohon tarra’ yang memiliki tinggi 100 hingga 300 centimeter. Satu pohon bisa berisi lebih dari satu makam bayi. Pohon Tarra dipilih karena cukup besar (diameter sekitar 80-100 cm) dan memiliki banyak getah. Masyarakat lokal percaya getah tersebut dapat menjadi pengganti air susu ibu bagi si bayi.
Pohon yang telah dipilih sebagai makam bayi tidak boleh ditebang. Menurut masyarakat setempat, menebangnya sama saja memutus kelanjutan hidup si bayi.
Seperti yang dilansir Ulin Ulin, tidak semua bayi bisa dimakamkan dengan cara ini, tetapi hanya bayi yang berusia di bawah 6 bulan, belum memiliki gigi, belum bisa berjalan, dan masih menyusui.
Mereka menganggap bahwa bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi adalah bayi yang masih dalam keadaan suci sehingga perlu dikembalikan kepada rahim ibunya. Caranya dengan memasukkannya ke dalam batang pohon tarra’. Besarnya batang pohon tarra’ dapat menjadi pengganti bagi rahim si ibu.
Untuk dijadikan makam bayi, dibuatlah lubang seukuran si bayi pada pohon tarra’ dengan cara dipahat. Bayi kemudian disemayamkan di lubang itu tanpa dibungkus satu helai benang pun. Hal ini sebagai simbol bayi tersebut masih dalam keadaan suci. Lubang itu kemudian ditutup menggunakan ijuk dari pohon aren.
Ada aturan tertentu peletakan jenazah bayi pada pohon. Pertama, tinggi-rendahnya penempatan bayi tergantung pada strata sosial orangtuanya. Semakin tinggi strata sosial orangtua si bayi, semakin tinggi letak makamnya. Kedua, makam bayi harus diletakkan searah dengan rumah duka. Hal ini untuk menghargai para keluarga yang berkabung.
Uniknya, meski berisikan mayat bayi, tidak ada bau busuk yang tercium di sekitaran pohon tarra’. Lubang tersebut bahkan akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun. Dengan demikian, pohon tarra’ tidak akan penuh sesak dengan mayat dan selalu akan tersedia tempat untuk mengubur bayi yang masih suci.
Saat ini, tradisi untuk memakamkan bayi di pohon tidak dilakukan lagi. Namun, jejak Passiliran masih bisa kita saksikan di Kambira. Saat ini, kuburan bayi di Kambira dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Kabupaten Tana Toraja.