Pacu Kude, Olahraga Pacuan Kuda di Daratan Tinggi Gayo

568
Pacu Kude
Perhelatan Pacu Kude menyambut hari raya kemerdekaan RI. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

1001indonesia.net – Pacu Kude adalah sebutan untuk pacuan kuda yang dilakukan oleh masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Pacuan kuda tradisional ini sudah digelar sejak tahun 1850. Uniknya, pada perhelatan Pacu Kude, para joki berumur antara 10 hingga 16 tahun memacu kudanya tanpa menggunakan pelana.

Pacu kuda ini mulanya diadakan di Kampung Bintang (sekarang menjadi Kecamatan Bintang). Letaknya di sebelah timur pinggir Danau Laut Tawar. Biasanya permainan tradisional ini dimainkan sehabis panen padi atau dikenal dengan istilah lokal luwah berume atawa luwes belang.

Saat itu, dengan sengaja para pemuda menangkap kuda sekitar menggunakan kain karung (opoh kerung) untuk kemudian diadu kecepatan lajunya. Kala itu, kuda digunakan oleh masyarakat Gayo sebagai alat transportasi, memburu, dan membajak.

Baca juga: Pacu Jawi, Pacuan Sapi Khas Minang yang Mendunia

Panjang lintasan masa itu kurang lebih 1,5 km. Menariknya, para joki ketika itu tidak diperkenankan bertanding jika belum melepas bajunya.

Pada 1912, pemerintah kolonial Belanda memindahkan area pacuan kuda ke pusat kota. Tepatnya di Blang Kolak (hari ini dikenal dengan lapangan Musara Alun). Tujuannya agar ajang tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat setempat.

Pemerintah kolonial juga menggunakan perhelatan pacuan kuda itu untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina di pengujung bulan Agustus. Kebetulan juga, cuaca di akhir Agustus biasanya lebih cerah dan jarang hujan sehingga menunjang lancarnya gelaran pacuan kuda.

Pada kesempatan itu, pemerintah kolonial Belanda mulai mengenalkan hadiah untuk pemenang berupa pakan kuda, bingkisan, dan piagam. Para joki yang tadinya bertelanjang dada pun mulai mengenakan baju beraneka warna.

Setelah itu, sejak tahun 1930, Pacu Kude mulai menjadi acara tahunan yang melibatkan beberapa kampung tetangga.

Pada masa pendudukan Jepang, Pacu Kude tidak diadakan karena semua kuda diambil oleh pihak Jepang untuk digunakan sebagai alat transportasi.

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya sekitar tahun 1956, tradisi pacuan kuda itu diambil alih oleh pemerintah setempat, bersamaan dengan mekarnya pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah. Tradisi ini menjadi simbol perjuangan rakyat sehingga digalakkan setiap memperingati hari ulang tahun Republik Indonesia.

Bermula dari permainan yang sangat sederhana dan dilaksanakan selepas panen padi, Pacu Kude terus berkembang menjadi perhelatan yang digelar secara rutin dan menjadi kebanggaan masyarakat Gayo.

Sampai saat ini, Pacu Kude masih digelar secara rutin dua kali setahun, tepatnya setiap bulan Februari untuk memperingati HUT Kota Takengon (ibu kota Kabupaten Aceh Tengah) dan bulan Agustus untuk memperingati HUT RI. Pada 2016, pemerintah menetapkan pacuan kuda kebanggaan masyarakat Gayo ini sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional.

Baca juga: Pasola, Adu Ketangkasan sebagai Ritual Pemujaan terhadap Dewa-Dewa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two + 4 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.