1001indonesia.net – Sesuai namanya, Obor Pattimura diadakan untuk mengenang Kapiten Pattimura, pahlawan nasional asal Maluku. Perayaan ini biasanya ditandai dengan pawai obor. Api obor yang dihasilkan di Gunung Saniri tersebut bersifat sakral dan menjadi simbol semangat perjuangan Pattimura.
Dilansir dari laman Indonesiana, pada 14 Mei 1817, Thomas Matulessy yang diberi gelar Kapitan Pattimura melakukan musyawarah besar di Gunung Saniri di Negeri Tuhaha. Musyawarah tersebut dihadiri oleh semua kapitan dari Pulau Ambon, Seram, Saparua, Haruku dan Nusalaut, guna menyusun strategi mengusir Belanda dari Maluku.
Petistiwa itulah yang kemudian dikenang dengan perayaan Obor Pattimura. Setiap tanggal 14 Mei dilakukan proses pembakaran obor Pattimura di gunung Saniri. Obor tersebut hanya bisa dibakar oleh anak adat Negeri Tuhaha.
Upacara ini diadakan untuk mengenang upacara adat yang dilakukan Kapitan Pattimura untuk meminta restu dari Tuhan dan para leluhur sebelum melakukan perlawanan dengan pihak Belanda.
Selain itu, untuk mengingatkan kembali kepada generasi muda akan semangat dan heroisme Kapitan Pattimura bersama para pejuang lainnya, saat menggelar pertemuan akbar untuk menyusun strategi penyerangan terhadap penjajah.
Sebelum mengadakan ritual adat pengambilan api di Gunung Saniri, para ahli waris bersama para Latupati (pimpinan adat) telah menggelar upacara adat di rumah yang dulu ditinggali keluarga Pattimura di Desa Tuhaha. Di rumah tersebut tersimpan pakaian serta parang dan salawaku yang pernah digunakan Pattimura saat memimpin perang melawan penjajah.
Setelah itu, keluarga dan para Latupati yang menggunakan pakaian serba hitam dengan lenso di bagian leher, berjalan menuju puncak Gunung Saniri untuk memulai prosesi pengambilan api. Mereka dikawal puluhan pemuda bertelanjang dada, bercelana berwarna merah, dengan pedang terhunus di tangan sambil menarikan tarian cakalele (tari perang).
Di Gunung Saniri, dilakukan upacara untuk menghasilkan unar atau titik api yang dilakukan secara tradisional. Titik api itu digunakan untuk menyulut obor induk. Prosesi upacara ini dilakukan oleh keturunan Pattimura, yakni dari Marga marga Matakena, Tatipikalawan, dan Polattu, dan dipimpin Raja Negeri Tuhaha.
Wakil dari tiga marga ini bertugas untuk menggosok dua bilah bambu. Pada bagian bawah salah satu bambu telah diletakkan parung, yakni serabut kelapa yang mudah terbakar. Sesetelah menggosok selama beberapa menit, terjadilah titik api yang akan membakar parung.
Api yang dihasilkan lalu digunakan untuk menyulut lentera yang telah disiapkan. Api dari lentera itulah yang dipakai untuk menyalakan obor induk setinggi satu meter serta dua obor pendamping dengan ukuran masing-masing 60 centimeter.
Api yang dihasilkan melalui upacara adat di Gunung Saniri ini sangat sakral. Sebab, itu tidak boleh padam selama dalam perjalanan dari Tuhaha hingga tiba di tujuan akhir.
Obor Induk dan dua obor pendamping dikirab melewati beberapa desa, seperti Saparua, Tiow, Portho, dan Haria. Dalam perjalanan, rombongan menyinggahi Benteng “Duurstede” yang dulunya menjadi markas utama penjajah di Pulau Saparua.
Sebelum obor dibawa ke Ambon, para Latupatti berkumpul di Baileo (rumah Adat) desa Haria untuk bersulang tuak sebagai lambang persaudaraan serta membacakan 17 pasal keberatan rakyat yang berisi protes atas pemaksaan kehendak penjajah Belanda.
Ketujuhbelas pasal keberatan itu merupakan hasil rumusan yang dibuat Kapiten Pattimura bersama para kapiten lainnya saat pertemuan akbar di puncak Gunung Saniri.
Baca juga: Tari Soya-Soya, Mengenang Semangat Perlawanan Kesultanan Ternate