1001indonesia.net – Nyobeng atau Nibakng merupakan ritual membersihkan tengkorak hasil mengayau nenek moyang dulu. Ritual ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur, bentuk penghormatan, sekaligus tanda perdamaian dalam rumpun suku Dayak Bidayuh.
Dahulu kala suku Dayak Bidayuh yang tinggal di wilayah Indonesia dan Malaysia kerap berperang. Hasil peperangan terutama ngayau disimpan warga Dayak Bidayuh Hli Buei di rumah adat yang letaknya di tengah kampung.
Setiap tahunnya, tengkorak hasil mengayau itu dimandikan dan dibersihkan. Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan, meski tengkorak itu dulunya adalah musuh. Selain itu, ritual ini juga dilakukan sebagai tanda perdamaian dalam rumpun Dayak Bidayuh yang tinggal di Indonesia dan Malaysia.
Dalam setiap kesempatan digelarnya ritual Nyobeng, warga Malaysia diundang untuk turut hadir. Meski beda negara, warga Malaysia dapat menghadiri acara ini. Selain karena masih satu rumpun dari Dayak Bidayuh, letak kampung Hli Buei tidak jauh dari perbatasan Indonesia-Malaysia.
Tak semata memandikan tengkorak manusia, ritual Nyobeng sebenarnya merupakan bagian dari hajatan besar masyarakat Dayak Bidayuh dalam mengungkapkan rasa syukur atas panen padi. Ungkap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tipaiakng) atas berkat panen padi yang melimpah merupakan tujuan sesungguhnya dari ritual Nyobeng itu sendiri.
Pelaksanaan ritual
Ritual Nyobeng biasanya dilaksanakan setiap tanggal 15-17 Juni atau setelah panen padi setiap tahunnya. Sebelum pelaksanaan ritual, warga membuat sesaji diolesi darah dari sayap ayam. Darah ayam juga dipercikkan pada tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti pada rumah balug atau rumah adat.
Warga kemudian membuat sangiang atau tempat sesajen dari bambu. Tetua adat kemudian melemparkan seekor anjing putih dan menebasnya di udara. Orang Dayak Bidayuh menggunakan ayam sebagai persembahan, sedangkan anjing sebagai sesaji untuk menolak bala.
Dalam upacara itu, mereka memainkan tetabuhan. Gendang panjang yang dipasang menembus lantai balok yang disebut simlog dibunyikan bersama gong dan kenong. Tamu bisa turut menari, asal berani memanjat tangga balug yang tingginya sekitar 15 meter dari permukaan tanah.
Warga mempersiapkan makanan, yang bisa disantap tamu. Semua gratis. Nasi dan sayur disuguhkan di atas daun. Tuak disajikan dalam tabung bambu.
Tengkorak manusia berjajar dengan tengkorak beberapa rusa. Air dari tempayan yang sudah dibacakan mantra diguyurkan satu per satu ke tengkorak. Mereka menggunakan gelas dari bambu dan mengoleskannya dengan air bermantra.
Setelahnya, seekor babi disembelih. Darahnya ditampung pada mangkuk kecil. Darah inilah yang akan melumuri tiap tengkorak kepala manusia.
Peti kotak dari kayu berisi beberapa tengkorak dikeluarkan. Satu per satu tengkorak disapukan dengan darah babi. Tak hentinya mantra diucapkan selama prosesi mencuci tengkorak.
Selepasnya, tengkorak akan disimpan kembali ke dalam peti kayu. Tak lupa, peti kayu juga dibersihkan dari kotoran. Perlahan, kotak kayu berisi tengkorak akan disimpan kembali ke dalam Rumah Balug untuk dimandikan lagi di tahun yang akan datang.
Darah juga dioleskan pada wajah para tetua adat Dayak. Setelah semua ritual selesai dilakukan, tibalah saatnya menyantap sajian makanan. Nasi dan sayur disuguhkan kepada peserta ritual, termasuk para tamu yang datang dari luar daerah.
Bagi orang Dayak, kepala manusia merupakan simbol harga diri dan penjaga desa. Roh kepala manusia akan menghalau hantu yang membawa hama penyakit, lalu mendatangkan hujan, serta menghindari desa dari bahaya. Ritual unik khas Kalimantan Barat ini telah menjadi destinasi agenda kepariwisataan yang rutin digelar.
Kepala manusia merupakan simbol harga diri, selain pelindung desa. Roh kepala manusia dipercaya dapat menghalau roh-roh jahat yang membawa hama penyakit, lalu mendatangkan hujan, serta menghindari desa dari bahaya.
Baca juga: Lom Plai, Ritual Pesta Panen Suku Dayak Wehea